Pertama
Tidak diragukan lagi bahwa ilmu mengenai tauhid asma’ wa shifat merupakan ilmu yang paling mulia dan paling utama, paling tinggi kedudukannya serta merupakan perkara yang paling penting. Kemuliaan dan keutamaan ilmu tergantung dari kemuliaan obyek yang dipelajari. Tidak ada yang lebih mulia dan lebih utama daripada ilmu yang berkaitan dengan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam al Quran dan as Sunah. Oleh karena itu, menyibukkan diri untuk memahaminya dan mengilmuinya serta membahasnya merupakan tujuan yang paling mulia dan maksud yang utama.
Kedua
Sesungguhnya mengenal Allah dan mengilmui tentang Allah akan menghantarkan hamba kepada kecintaan, penghormatan dan pengagungan, rasa takut dan harap, serta rasa ikhlas beramal untuk-Nya. Kebutuhan seorang hamba terhadap ilmu tersebut dan memperoleh buah dari lmu tersebut merupakan kebutuhan yang paling besar, paling utama, dan paling mulia. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tidak ada kebutuhan bagi jiwa yang lebih besar daripada mengenal Dzat yang telah Menciptakannya, kemudian untuk mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan merasa senang dengan pengenalannya tersebut, serta mencari wasilah terhadap-Nya dan kedekatan di sisi-Nya. Tidak ada jalan untuk mencapai hal itu kecuali dengan mengenal sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya. Semakin seorang hamba mengilmui tentang nama dan sifat Allah, dia akan lebih mengetahui tentang Allah dan semakin dekat dengan-Nya. Sebaliknya, semakin seorang hamba mengingkari nama dan sifat Allah, dia akan semakin bodoh terhadap Allah dan akan semakin benci dan jauh dari-Nya. Allah Ta’ala akan menempatkan (mengingat) seorang hamba di sisi-Nya tatkala seorang hamba memberi tempat bagi Allah dalam jiwanya”. Tidak ada jalan untuk mencapainya kecuali dengan mengenal nama dan sifat-Nya serta mempelajari dan memahami maknanya.
Ketiga
Sesungguhnya tujuan Allah menciptakan makhluk dan menjadikan mereka dari tidak ada, menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya adalah untuk mengenal-Nya dan untuk beribadah kepada-Nya semata. Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya,
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ اْلأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ اْلأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًا {12}
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. At Thaalaq:12).Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ {56}
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzaariyat:56).Tujuan penciptaan makhluk adalah untuk hal tersebut (mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya semata) dan Allah menciptakan mereka untuk merealisasikannya. Maka kesibukan untuk mengetahui nama dan sifat Allah merupakan kesibukan terhadap tujuan penciptaan makhluk, dan meninggalkannya merupakan pengabaian terhadap tujuan pencitaan makhluk. Tidak selayaknya bagi seorang hamba (melalaikan) terhadap keutamaan Allah yang agung ini dan nikmat yang besar ini, dia bodoh terhadap Rabb-Nya dengan berpaling dari mengenal-Nya
Keempat
Salah satu rukun iman yang enam, bahkan merupakan yang paling utama dan paling pokok adalah iman kepada Allah. Dan bukanlah yang dimaksud iman itu hanya sekadar perkataan seseorang bahwa “Aku telah beriman” semata tanpa mengenal Rabb-Nya. Bahkan hakikat iman yang sebenarnya adalah mengenal Rabb-Nya dan bersungguh-sungguh dalam mengenal nama dan sifat-Nya sampai mencapai derajat yakin. Sebatas pengenalan seorang hamba terhadap Allah maka sebatas itu pula keimanannya. Semakin bertambah pengenalan terhadap nama dan sifat-Nya, semakin bertambah pula pengenalan seorang hamba terhadap Rabb-Nya dan semakin bertambah pula imannya. Sebaliknya, semakin kurang pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat-nya semakin berkurang pula imannya. Allah Ta’ala berfirman,
…إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا … {28} ِ
” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama” (QS. Faathir:28).Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksudnya yang takut dengan rasa takut yang sebenarnya adalah para ulama yang mengenal Allah. Karena semakin mengenal Allah Al ‘Adziim, Al Qadiir, Al ‘Aliim yang disifati dengan sifat yang sempurna dan dengan nama yang indah dan mulia, maka semakin sempurnalah pengenalan terhadap Allah dan semakin sempurna pula ilmu tentang nama dan sifat-Nya, rasa takut yang timbul akan semakin besar dan semakin bertambah”. Seorang ulama salaf mengungkapkan hal ini dalam perkatannya, ”Barangsiapa yang paling mengenal Allah, maka dia yang paling takut kepada-Nya”.
Kelima
Ilmu tentang Allah Ta’ala merupakan pokok dari segala sesuatu. Sehingga orang yang mengenal-Nya dengan pengenalan yang hakiki akan mendapatkan petunjuk dalam berbuat dan melaksanakan syariat dengan pengenalannya terhadap sifat dan perbuatan-Nya tersebut. Karena Allah Ta’ala tidaklah berbuat kecuali merupakan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Seluruh perbuatan Allah dipenuhi dengan sikap adil, keutamaan, dan hikmah. Oleh karena itu Allah tidaklah menetapkan syariat kecuali sesuai dengan tuntutan keadilan dan hikmah. Seluruh berita yang Allah khabarkan benar dan juju, dan seeluruh perintah dan larangannya mengandung keadilan dan hikmah.
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, kelima hal di atas menunjukkan keutamaan ilmu asma’ wa shifat dan besarnya kebutuhan hamba terhadap ilmu tersebut. Bahkan tidak ada kebutuhan yang lebih penting daripada kebutuhan seorang hamba untuk mengenal Rabbnya yang telah menciptakannya, yang menguasainya, yang mengatur segala urusannya, yang menentukan rezeki baginya, yang tidak butuh terhadap mereka sedikitpun. Dan tidak ada jalan untuk meluruskan dan memperbaiki hal tersebut kecuali dengan mengenal-Nya, beribadah kepada-Nya, dan beriman hanya kepada Allah semata. Kebahagiaan yang didapat seorang hamba sesuai dengan pengilmuannya terhadap Allah Ta’ala dan pengamalannya dengan ilmunya tersebut, yaitu dengan mentadabburi nama dan sifat Allah yang terdapat dalam al Quran dan as Sunnah, kemudian memahaminya dengan pemahaman yang benar. Tidak menyelewengakan maknanya, menolaknya, atau menyerupakannya dengan sifat makhluk. Segala puji bagi Allah, nama-nama-Nya yang baik dan mulia serta sifat-sifat-Nya agung.[1]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id
[1]. Diringkas dengan sedikit perubahan dari pembahasan “Ahammiyatul ‘ilmi bi asmaaillaahi wa shifaatihi” dalam kitab Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar karya Syaikh ‘Abdurrozzaq bin ‘Abdulmuhsin al Badr , Jilid 1 hal 119-122. Cet, Daar Ibnu ‘Affaan.
No comments:
Post a Comment