Mukadimah
Rubrik Fiqh Da’wah kali ini menurunkan kajian tentang Khasha-isul Islam (Karakteristik Islam) sebagai perbekalan ilmiah bagi para da’i, selain sebagai upaya tarbiyah tsaqafiyah, juga agar para da’i mampu menampilkan Islam yang haq, istimewa dan unggul.
Islam memiliki karakter, ciri khas, dan kepribadian yang berbeda dengan agama lainnya. Baik itu Yahudi, Kristen, atau agama paganis seperti Hindu, Budha, atau isme (paham) buatan manusia seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme dan lain-lain. Karakter ini, bukan sekadar menunjukkan perbedaan, tetapi juga keunggulan, ketinggian, keistimewaan, dan kemurniannya sebagai ajaran agama.
Tidak banyak umat Islam yang mengetahui karakter agamanya. Itulah kenyataan yang telah lama dan tidak mengenakan. Baik terjadi karena kemalasan mempelajari agamanya, atau karena mu’amarah li at Taghrib (konspirasi pembaratan), juga karena pembodohan sistematis.
Boleh dikatakan sukses. Umumnya umat Islam memandang Islam itu hanya Isya, Subuh, Lohor (zhuhur), Asar, dan Maghrib, sesuai dengan singkatan namanya. Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un. Adapun yang lain memandang Islam itu hanya Jihad, shalat tidak shalat pokoknya jihad! Yang lain menganggap Islam itu Khilafah dan Khilafah, hidup matinya untuk khilafah, walau mereka tidak mengerti apa itu khilafah! Ada lagi menganggap Islam itu sekadar shalawat nabi, jika sudah selawat seakan sudah pada puncak khidmah (pengabdian) terhadap Islam. Ada juga yang memandang Islam itu hanya aqidah dan ibadah. Benarkah Islam seperti itu yang diajarkan oleh Allah Jalla wa ‘ Ala melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam? Benarkah Islam terbentuk dalam wujud serpihan-serpihan seperti itu? Lalu, apa itu Islam?
Berkata Al Ustadz Asy Syahid Hasan al Banna rahimahullah:
“Islam adalah nizham (tatanan) sempurna yang mencakup seluruh sisi kehidupan. Dia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, rahmat dan keadilan, wawasan dan undang-undang, ilmu dan ketetapan, materi dan kekayaan alam, atau penghasilan dan kekayaan, jihad dan da’wah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana dia adalah aqidah yang benar serta ibadah yang sahih, tidak lebih tidak kurang.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, hal. 305. Maktabah at Taufiqiyah, Kairo. tanpa tahun)
1. Rabbaniyah (ketuhanan)
Inilah karakteristik yang pertama. Islam adalah ajaran yang bersumber (mashdaran) dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sedangkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, hanyalah Rasul (pembawa risalah), ucapannya adalah wahyu dari Tuhannya, bukan hawa nafsunya. Karena itu keliru jika Islam disebut Mohammedenism (faham/isme buatan Muhammad), sebab Islam adalah ajaran buatan Allah Jalla wa ‘ Ala , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanyalah pembawa risalahNya.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah yang diucapkan (Muhammad) adalah hawa nafsunya, melainkan wahyu dari Tuhan.” (QS. An Najm:3-4)
Imam Ibnu Katsir berkata: “Apa yang diucapkannya bukanlah dari hawa nafsu dan keinginannya, itu hanyalah firmanNya yang dengannya ia diperintah untuk menyampaikannya kepada manusia secara sempurna, tanpa penambahan dan pengurangan.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, 4/247)
Dalam tafsir lain disebutkan: Tidaklah ia mengucapkan dengan Al Qur’an ini menurut hawa nasfunya, dan tidaklah Al Qur’an ini melainkan wahyu dari Allah semata (Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 526. Dar al Basyair, Damaskus)
“Muhammad itu hanyalah seorang Rasul, telah berlalu sebelumnya rasul-rasul ….” (QS. Ali Imran:144)
Maksudnya: Muhammad adalah sama dengan seluruh rasul-rasul yang diutus sebelumnya (Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Ibid, hal. 68) yaitu hanya membawa risalah Allah, bukan ia yang menciptakan risalah tersebut.
Rasul secara bahasa berarti utusan atau pesuruh. Diambil dari kata arsala-yursilu sama artinya dengan ba’atsa –yab’atsu yang berarti mengutus. Jadi, secara bahasa sudah jelas bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanyalah utusan Allah yang bertugas membawa dan menyampaikan (tabligh) risalahNya, yakni Islam.
Begitu pula hadits-hadits yang terucap dari lisannya, juga tidak akan keluar kecuali melalui bimbinganNya.
Rasulullah ‘Alaihi Shalatu was Salam telah menegaskan hal itu:
“Ketahuilah, sesungguhnya aku telah diberikan al kitab (al Qur’an) dan sesuatu sepertinya bersamanya (yakni al hadits).” (HR. Ahmad, Abu daud, dan Tirmidzi)
Dalam tafsir Ibnu Katsir (4/247), dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ‘Alaihi shalatu was salam bersabda: “Apa saja yang aku kabarkan kepada kalian adalah dari Allah, yang tidak ada keraguan di dalamnya.” (HR. Abu Bakar al Bazzar, katanya: kami tidak mengetahui riwayat lain kecuali dengan sanad ini)
Dalam hadits lain, “Tidaklah aku berkata kecuali kebenaran.” Sebagian sahabat bertanya, “Engkau memanggil kami wahaiRasulullah?” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya tidaklah aku berkata kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Islam sebagai ajaran Rabbaniyah (ketuhanan) , sangat jelas terlihat ketika kita mengkaji ayat-ayat tentang Iptek. Contoh surat Yunus: 61 tentang adanya benda yang lebih kecil dari atom. Atau tantangan Allah Jalla wa ‘Ala dalam surat Ar rahman terhadap Jin dan Manusia untuk menembus langit dan bumi jika mempunyai kekuatan (sulthan), atau Anemokori (penyerbukan bunga dengan angin) dalam Al Hijr: 22, atau tentang tiga pelindung rahim ibu hamil yaitu chorion, amnion, dan dinding uterus, Al Qur’an menyebutnya tiga kegelapan dalam Az Zumar:6, dan masih sangat banyak yang lainnya. Ini semua menunjukkan Al Qur’an telah berbicara tentang sesuatu di luar jangkauan manusia zamannya ia diturunkan, yang baru tertangkap hikmahnya pada masa belakangan. Hal tersebut, tentu mustahil hasil buatan manusia Ummi (buta baca dan tulis) seperti Rasulullah. Pastilah kaum berakal mengatakan ini dari Allah Rabbul Jalil.
Sedangkan agama lain, bukanlah ajaran Tuhan melainkan ajaran manusia-manusia yang menjadi pembawanya. Nasrani misalnya, banyak sekali diktum-diktum agama (baik Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama/Taurat) yang terasuki ucapan-ucapan kotor manusia. Ajaran mereka, seperti wajibnya khitan bagi laki-laki, haramnya babi, haramnya patung makhluk bernyawa –ketentuan yang sangat mirip dengan Islam- telah dirubah oleh Paulus yang mengatakan bahwa khitan itu tidak bermanfaat, hanya babi hutan yang haram, dan perubahan-perubahan lainnya.
Paulus termasuk pihak yang paling bertanggung jawab terhadap berbagai perubahan-perubahan sebagian besar ajaran Nasrani dari aslinya. Ialah yang menciptakan rekaan-rekaan dalam Injil yang diyakini dari Yesus oleh pemeluk Nasrani. Ia bernama Saulus seorang Yahudi (lagi-lagi Yahudi!) yang awalnya anti Yesus, ceritanya, ia mendapat ‘hidayah’ menjadi pengikut setia Yesus lalu ia mengganti nama menjadi Paulus.
Benarlah Firman Allah Jalla wa ‘ Ala :
“Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan-tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besar bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 79)
Imam Ibnu Katsir mengatakan, berkata Sufyan ats Tsauri, dari Abdurrahman bin ‘Alqamah, aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu tentang ayat (di atas), Ia menjawab: ayat itu diturunkan untuk kaum musyrikin dan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).
Az Zuhry berkata, mengabarkan kepadaku ‘Ubaidillah bin Abdullah, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai kaum muslimin! Bagaimana kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, padahal Kitabullah (Al Qur’an) yang Dia turunkan kepada nabiNya telah mengabarkan, namun kalian membacanya dengan sepele, bahwa Allah Ta’ala telah mengatakan kepada kalian bahwa Ahli Kitab telah merubah Kitab Allah dan selainnya. Mereka menulis dengan tangan-tangan mereka al Kitab itu, lalu mereka mengatakannya itu dari Allah dengan tujuan mencari keuntungan yang sedikit dengannya.” (HR. Bukhari, Tafsir Ibnu Katsir, 1/118)
2. Al Insaniyah (Kemanusiaan)
Islam, walau ia ajaran dari langit, tetaplah berdimensi manusia karena memang diturunkan untuk seluruh manusia.
“Tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia.” (QS. As Saba : 28)
Ajarannya ada sesuai fitrah manusia yang hanif (lurus) dan bahkan menyempurnakannya. Seluruh sisi kemanusiaan mendapatkan perhatian yang seimbang baik itu ruh, jasad, dan akal. Intinya segala kelengkapan untuk memanusiakan manusia, Islam memiliki formulanya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Rabbku pada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus (hanif); dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am: 161)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kita cara kependetaan (ruhbaniyah) dengan cara (agama) yang hanifiyah (lurus) dan sam-hah (sesuai tabiat manusia).” (HR. Imam Baihaqy, Kitab an Nikah, Bab al Hitsu ‘alan Nikah wa Ma Ja’a fi Dzalik. Ia berkata: Imam Thabrany meriwayatkan, di dalamnya ada Ibrahim bin Zakariya, dia itu dhaif. Majma’ az Zawaid, 4/252. Imam Khathib al Baghdady juga meriwayatkannya dari jalur Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu namun dhaif juga. Tetapi hadits ini memiliki tiga penguat dari jalur lain yang membuatnya menjadi hasan, demikian menurut Syaikh al Albany dalam Shahih Jami’us Shaghir)
Contoh, sikap Islam yang manusiawi terhadap syahwat yang dimiliki manusia, sebab tidak selamanya syahwat adalah musuh bagi manusia. Allah Jalla wa ‘ Ala mengingkari hidup kependetaan (ruhbaniyah) yang salah satunya adalah tidak mau menikah, yang kata mereka merupakan upaya pensucian diri dan jalan menuju Tuhan.
Sebagaimana itu dilakukan oleh Pastur, Biarawti, Bikhsu Budha. Akhirnya, apa yang terjadi? Mereka menghamburkan syahwatnya dengan cara illegal. Bukan di atas lembaga perkawinan. Belakangan, radio ElShinta memberitakan bahwa ribuan pastur di Amerika Serikat demonstrasi kepada Vatikan khususnya kepada Paus Benedictus, bahwa mereka menginginkan pelarangan nikah bagi para pastur dihapuskan. Dahulu, awal era 90-an, seorang Suster yang mualaf bernama Anastasia Maria menceritakan dalam kaset ceramahnya, bahwa banyak pastur yang menghamili biarawati bahkan mereka memiliki rumah sakit khusus untuk menampung bayi-bayi hasil hubungan gelap sesama mereka.
Benarlah yang dikatakan Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu ‘anhu, “Jika manusia sudah mampu menikah tetapi ia tidak mau melakukannya, maka hanya ada dua kemungkinan. Ia punya kelainan atau hobi bermaksiat.”
Islam datang bukan untuk memerangi hawa nafsu, melainkan mengendalikannya dan menempatkannya secara haq. Mengumbar syahwat secara tidak haq (baca: zina) adalah dosa besar, namun jika itu dilampiaskan kepada yang halal bagi manusia (pasangan sahnya) maka itu mulia dan berpahala.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Pada kemaluan seorang dari kalian ada sedekahnya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah seseorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Apa pendapatmu jika ia melampiaskannya pada yang haram, bukankah ia berdosa? Maka demikian pulalah, jika ia melampiaskannya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim. Shahih Muslim, Kitab Az Zakat, Bab Bayan Anna Ismash Shadaqah yaqa’u ‘ala Kulli Nau’ minal Ma’ruf, 3/82)
Islam sangat menentang hidup mengebiri atau membujang tanpa alasan yang haq.[1] Sehingga terbentuk pribadi-pribadi yang hilang keseimbangannya.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,katanya: datang tiga orang ke salah satu rumah isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka bertanya tentang ibadahnya Nabi, ketika mereka memperoleh penjelasannya, mereka merasa kecil dibandingkan Nabi. Lalu mereka berkata: “Apalah kita ini jika dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, padahal beliau telah diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang?”
Seorang di antara mereka berkata, “Aku akan shalat malam selamanya.” Yang lain berkata, “Aku akan puasa sepanjang tahun tanpa berbuka.” Yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi perempuan dan tidak nikah selamanya.” Maka datanglah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Kaliankah yang berkata begini dan begitu? Demi Allah, Akulah yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah di banding kalian. Tetapi aku puasa juga berbuka, aku shalat tapi juga tidur, dan aku mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang benci sunahku maka ia bukan golonganku.” (HR. Imam Bukhari, Kitab an Nikah, Bab Targhiib fi an Nikah,7/4. Imam Muslim, Kitab an Nikah, Bab Istihbab an Nikah … ,9/175. Imam Ahmad, Al Musnad, 3/241, 259, 285)
Menurut kesehatan menikah juga hal yang sangat baik. Dalam koran Asy Sya’b yang terbit hari Sabtu 6 Juni 1959, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan pernyataan:
“Orang yang bersuami-isteri usianya lebih panjang dibanding orang yang tidak, baik karena menjanda, cerai, atau sengaja membujang.” Pernyataan PBB ini didasarkan data statistik yang berbunyi. “Benarlah adanya bahwa jumlah orang yang mati dari kalangan yang sudah bersuami isteri lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang tidak bersuami isteri dalam berbagai usia.”
Pernyataan tersebut selanjutnya: “berdasarkan data-data, dapat disimpulkan bahwa nikah itu bermanfaat dan baik, bagi pria dan wanita, sehingga bahaya hamil dan melahirkan semakin berkurang, dan bukan lagi ancaman bagi kehidupan semua bangsa.” (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid.2, hal.301-302. Darul Fath lil I’lam al ‘Araby, Kairo)
Islam memandang aneh manusia yang menyengaja tidak mau kawin. Berkata Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu kepada Abu az Zawaid, “Sesungguhnya yang mencegahmu untuk nikah hanyalah kelemahanmu dan kedurhakaanmu.” (Ibid, hal. 303)
Ini baru satu saja contoh karakter kemanusiaan (al Insaniyah) ajaran Islam. Masih banyak lagi, dan jika Allah mengizinkan, akan di bahas pada waktu lain.
3. Al Basathah (sederhana-mudah)
Sederhana dan kemudahan dalam Islam bukanlah dipaksakan adanya, apalagi sengaja dibuat-buat mudah untuk mengikuti selera nafsu manusia. Melainkan Allah Ta’ala sendiri yang menjadikan agama ini mudah.
Allah Jalla wa ‘ Ala berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”(QS. Al Baqarah: 185)
“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’: 28)
Hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Berikanlah kemudahan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira, jangan buat mereka lari.” (HR. Imam Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan. Kitab al Jihad, Bab Fi al Amr at Taysir wa Tarku at Tanfir. no. 1131)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (dispensasi) yang diberikannya dilakukan, sebagaimana Ia juga suka jika ‘azimah (kewajiban awal sebelum dirukhshah)nya dikerjakan.” (HR. Ahmad dan Baihaqy. Imam Thabarany meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Shahih menurut Syaikh al Albany dalam Shahih alJami’ Ash Shaghir, no. 1881. Al Haitsami mengatakan dua jalur tersebut rijalnya tsiqah)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshahnya dilaksanakan, sebagaimana ia benci jika maksiat dikerjakan.” (HR.Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkannya, 5866, 5873. Ibnu Hibban dalam shahihnya, 2742. Al Haitsami mengatakan rijalnya shahih)
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.” (HR. Bukhari dan Muslim, Al Lu’lu wal Marjan. Kitab al Fadhail, Bab Muba’adatuhu Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lil Atsam …,no. 1502)
Kemudahan Islam sangat terlihat ketika kita membandingkan jalan menuju surga dan jalan menuju neraka. Ternyata jalan menuju surga begitu mudah, disesuaikan dengan kemampuan, dan gratis. Sementara menuju neraka harus dibarengi ongkos dan penuh resiko dan sanksi.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan sebagian orang untuk cukup melakukan ibadah-ibadah wajib yang pokok saja, bahkan mereka bersumpah tidak melebihi dan tidak mengurangi ibadah-ibadah tersebut. Meski demikian Nabi bersabda, “Aflaha in shadaqa (Ia beruntung jika jujur)” (HR. Bukhari, Al Lu’ lu’ wal Marjan, Kitab al Iman, Bab Bayan ash Shalawat alati ahad arkan al Islam,no. 6)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Tunjukan kepadaku amal yang jika aku kerjakan mengantarkan ke surga.” Rasulullah menjawab: “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, menegakkan shalat yang wajib, menunaikan wajibnya zakat, dan puasa Ramadhan.” Orang itu berkata, “Demi yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak akan menambahnya.” Ketika orang itu berlalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat laki-laki yang termasuk ahli surga, maka lihatlah orang itu.” (HR. Bukhari, Al Lu’lu’ wal Marjan, Kitab al Iman, Bab Bayan al Iman alladzi yadkhulu bihi al Jannah, no. 8)
Ibadah wajib yang pokok adalah shalat wajib lima waktu; mudah, tidak lama, menyehatkan, dan contoh gerakan maupun bacaan sudah ada. Zakat wajib jika sudah mencapau nishab (batas minimal) harta, sedangkan zakat fitrah hanya dua kilogram beras. Itu pun setahun sekali. Puasa Ramadhan hakikatnya hanya memindahkan jam makan saja. Sedangkan kewajiban Haji terikat oleh kemampuan; finansial, kesehatan dan ilmu. Jika belum terpenuhi maka belum wajib (karena itu wajib setiap muslim menjadi orang yang mampu agar rukun Islamnya sempurna).
Adapun jalan menuju neraka seperti judi, mabuk, korupsi, riba, zina (main pelacur), bukanlah jalan yang mudah. Butuh modal, sanksi berat baik pidana dan moral, tidak menyehatkan tubuh, merusak akal dan jiwa, dan tindakan yang memalukan. Namun anehnya inilah jalan yang lebih banyak peminatnya.
Sayangnya, kemudahan Islam yang Allah Jalla wa ‘Ala berikan ini tertutup oleh sikap sebagian besar umat Islam yang menyulitkan dan melampaui batas. Entah karena tradisi lokal, pemahaman agama yang menyimpang, atau hadits-hadits palsu.
Contoh, ketika puasa Ramadhan. Hal yang membatalkan puasa hanyalah empat yang disepakati ulama, yaitu makan (minum) sengaja, mengeluarkan air mani secara sengaja (istimna’- onani-masturbasi), hubungan suami isteri, dan muntah disengaja. Namun, sebagian umat Islam Indonesia berlebihan dengan mengatakan menggosok gigi, mandi, maaf-ngupil, mengorek kuping, sekadar mencicipi makanan di mulut, adalah membuat batal puasa. Ini semua sama sekali tidak ada dasarnya yang sah dalam Islam. Sehingga betapa susahnya orang yang berpuasa. Adapun yang diperselisihkan –apakah batal atau tidak-adalah berbekam, injeksi, infus, memasukkan obat ke hidung.
Adapun hadits yang menyebutkan benda masuk ke lubang tubuh maka puasa menjadi batal adalah dhaif. Ada riwayat, “Sesungguhnya berbuka (batal puasa) adalah karena sesuatu yang masuk bukan karena sesuatu yang keluar.” (HR. Abu Ya’la) mungkin hadits inilah yang membuat orang menilai batal membersihkan dalamnya hidung (ngupil), telinga, dan buang angin di air (?).
Syaikh al Albany mengatakan hadits tersebut dhaif, karena ada rawi (periwayat) yang bernama Salma dan dia majhul (tidak dikenal) dikalangan ahli hadits. Ada juga yang bernama Razin al Bakri, jika ia adalah Al Juhni maka ia kuat, jika bukan maka ia majhul. (Syaikh al Albany, Silsilah al Ahadits ad Dhaifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha al Sayyi fil Ummah, hadits no. 961)
Contoh lain seperti masalah pernikahan yang seharusnya mudah dan murah menjadi mahal dan susah karena tradisi dan budaya yang jelas bukan dari Islam. Masih banyak contoh lainnya. Maka tugas para da’i merubah kesulitan dan kesempitan tradisi, menuju kemudahan Islam.
4. Al Wasathiyah wal ‘Adalah wat Tawazun (Pertengahan, Adil dan Seimbang)
Maksud dari karakter ini adalah sikap Islam yang pertengahan, adil, dan seimbang di antara dua jalan dan arah yang saling bertentangan. Antara dunia dan akhirat, individu (fardiyah) dan masyarakat (jama’iyah), idealita (mitsaliyah) dan realita (waqi’iyah), spiritual (ruhiyah) dan material (maddiyah), tekstual (manthuq) dan kontekstual (mafhum), konsisten (tsatbat) dan taghayyur (perubahan), sosialisme (isytirakiyah) dan kapitalisme (ra’sumaliyah), dan lainnya.
Pertengahan di antara dua hal itulah umat Islam layak di sebut umat terbaik, itu jika mereka masih berpegang teguh padanya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. Al Mulk: 3)
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami jadikan kalian sebagai umatan wasathan” (QS. Al Baqarah: 143)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir ummatan wasathan berarti umat yang adil, pilihan dan terbaik. Dikatakan, “Quraisy adalah suku pertengahan di Arab secara garis keturunan (nasaban) dan negri tempat tinggal (Daaran), yaitu sebagai suku terbaik di sana. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pertengahan (wasathan) di antara kaumnya, yaitu yang paling mulia nasabnya, darinya ada istilah shalat wustha yaitu shalat paling utama, yakni Ashar.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 1/190)
Penulis Syarh al Aqidah al Wasithiyah mengatakan, “Umat Islam adalah pertengahan antara agama-agama (milal), sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan kami jadikan kalian sebagai umat pertengahan (umatan wasathan).” (QS. Al Baqarah:143), sedangkan Ahlus Sunnah adalah pertengahan antara firaq (kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam. (Said bin Ali bin Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah rahimahullah, hal.48. muraja’ah. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin. Cet.2, Rabiul Awal 1411H. Penerbit: Ri-asah Idarat al Buhuts al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad)
Karakter pertengahan, adil, dan seimbang ini bukanlah klaim, melainkan fakta. Contoh, pertengahan Islam dalam menyikapi wanita haid. Menurut Yahudi, wanita haid haruslah dikucilkan, hatta suaminya tidak boleh menyentuhnya. Adapun menurut Nasrani, wanita haid tidak berdosa bagi suaminya untuk menggaulinya. Dua gambaran ekstrim yang amat bertolak belakang.
Adapun Islam, pertengahan di antara kedua sikap ini. Islam mengajarkan para suami untuk tetap bersikap sewajarnya dengan wanita haid dan berinteraksi secara ma’ruf, bahkan boleh bercumbu (mubasyarah) –banyak hadits yang menceritakan kedekatan Rasulullah kepada isteri-isterinya walau mereka sedang haid sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah, dan Maimunah radhiallahu ‘anhunna, namun tidak dibenarkan untuk lebih dari itu, yaitu menggaulinya.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Yahudi jika seorang wanita sedang haid, maka mereka tidak mau makan bersamanya (menjauhinya), maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Lakukanlah apa saja oleh kalian (terhadap isteri yang sedang haid, pen) kecuali nikah (jima’).” (HR. Muslim. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Kitab ath Thaharah, Bab al Haidh, hal. 33, no. 121. Darul Kutub al Islamiyah).
Belum lagi keadilan Islam dalam pembagian waris yang amat detil dan proporsional, yang tidak kita temukan dalam agama lain. Kaum feminis yang selalu sinis menggugat perbandingan 2:1 pembagian waris antara laki-laki dan perempuan. Maunya mereka sama rata. Ini menunjukkan kecerobohan mereka dalam berfikir. Adil tidak berarti sama rata, jika Anda memberikan uang masing-masing Rp. 50.000,- kepada siswa SMA, SMP, dan kelas 1 SD. Adilkah? Tidak! Sebab siswa SMA dan SMP merasa kurang dengan Rp. 50.000,- karena kebutuhan mereka lebih dari itu dalam sepekan. Tetapi bagi siswa kelas 1 SD, uang senilai itu ia tidak mengerti untuk apa. Laki-laki mendapat dua bagian dari wanita dalam hak waris dalam Islam. sebab si laki-laki akan menggunakan uangnya untuk isteri dan anaknya, sedangkan si wanita uang yang ia dapatkan tidak berkurang, justru bertambah dari suaminya, apalagi jika ia punya penghasilan juga.
Keadilan Islam juga nampak dalam menyikapi hak kepemilikan harta. Kaum komunis dan sosialis mengingkari kepemilikan pribadi, bahkan mereka menganggap hak kepemilikan pribadi merupakan sumber segala kehancuran, kehancuran, dan penyelewengan. Hak prbadi semua harus dikembalikan kepada negara, sehingga tidak ada kaya dan miskin di masyarakat. Sedangkan kapitalis mengakui hak kepemilikan pribadi secara ekstrim tanpa mempedulikan masyarakat lain, sehingga walau tetangga melarat, negara bangkrut, bukan urusan dan tanggung jawab mereka (rasa-rasanya ini yang terjadi atau dianut di Indonesia tanpa disadari). Bahkan, mereka menganggap Tuhan telah menakdirkan, kalau si miskin tetap miskin Kedua model ini sudah terbukti gagal dalam mensejahterakan rakyatnya. Nah, Islam pertengahan di antara keduanya. Manusia secara individu berhak memiliki harta sesuai usahanya yang halal dan baik, tanpa melupakan hak orang lain yang tidak seberuntung dirinya, seperti adanya zakat, infaq, sadaqah, atau waqaf. Negara diberi wewenang untuk mengelola itu semua untuk sebesar kemakmuran umatnya dibawah prinsip keadilan Islam. Sehingga tidak terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, dan permusuhan antara pemilik modal dengan negara.
Islam memandang, adanya kaya dan miskin, adalah sunatullah kehidupan yang tidak bisa diingkari. Sedangkan pengabdian kepada negara Islam dengan pemimpinnya yang shalih, adalah bagian dari perintah agama, athi’ullaha wa athi’urrasul wa ulil amri minkum ….
5. Asy Syamil wal Mutakamil (Sempurna dan saling melengkapi)
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl (16): 89)
Berkata Al Ustadz Asy Syahid Hasan al Banna rahimahullah:
“Islam adalah nizham (tatanan) sempurna yang mencakup seluruh sisi kehidupan. Dia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, rahmat dan keadilan, wawasan dan undang-undang, ilmu dan ketetapan, materi dan kekayaan alam, atau penghasilan dan kekayaan, jihad dan da’wah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana dia adalah aqidah yang benar serta ibadah yang sahih, tidak lebih tidak kurang.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, hal. 305. Maktabah at Taufiqiyah, Kairo. tanpa tahun)
Di atas adalah ucapan tokoh Islam sendiri, bisa jadi dianggap tidak objektif. Tetapi bagaimana jika itu pula yang dikatakan para orientalis seperti, Dr. V. Fitzgerald, C.A. Nallino, Dr. Schacht, R. Strothman, D.B. Macdonald, Sir T. Arnold, Gibb, mereka semua mengatakan Islam bukan sekedar agama, tetapi juga tatanan politik, negara, kekuasaan, hukum dan perundang-undangan. (Min fiqh ad daulah, Dr. Yusuf al Qaradhawy). Apakah pandangan ‘orang luar’ ini tidak cukup memuaskan bagi kalangan yang menuduh tidak ada negara dalam Islam?
Ya, Islam adalah agama yang amat sempurna. Dari urusan yang dianggap sepele hingga sangat kompleks, Islam punya aturan. Adab hendak tidur hingga bangun, adab hendak ke kamar mandi hingga aktivitas di dalamnya serta selesainya, adab hendak makan hingga selesainya, adab berkendara dan di jalan, adab berpakaian, makan, minum, berias, memakai alas kaki, berkunjung ke rumah orang lain, semua ada aturan secara detail. Semua tidak kita temukan dalam ajaran agama apa pun. Apalagi hal yang lebih besar, seperti mencari nafkah, pembinaan keluarga dan masyarakat, pinjam meminjam, utang piutang, hubungan antar keluarga dan tetangga bahkan negara, memilih pemimpin, etika perang, menuntut ilmu, belum lagi tata cara peribadatannya.
Bahkan Islam sebagai agama sempurna, sangat antisipatif terhadap perkembangan zaman dan kemajuannya. Islam memberikan jawaban terhadap perilaku ekonomi yang belum ada pada masa lalu, seperti surat-surat berharga, bursa efek, atau masalah kedokteran yang belum ada pada masa lalu seperti transplantasi, euthanasia, cloning, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ulama Islam tidaklah dinamakan rohaniawan, sebab mereka tidak hanya mengurus jiwa manusia. Imam Abu Hanifah, ia adalah seorang pedagang pakaian yang sukses. Imam al Ghazaly seorang faqih bermadzhab syafi’i, ia juga seorang psikolog dan sosiolog. Imam Ibnu Rusyd seorang faqih madzhab maliki pengarang Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, ia juga seorang filsuf dan dan dokter. Imam Fakhrurrazi pengarang Tafsir Al kabir, ia juga seorang dokter. Berbeda dengan Pastur, Pendeta, Rabi, dan Bikshu, mereka disebut rohaniawan atau agamawan, sebab yang mereka urusan adalah jiwa dan agama saja. Mereka disebut biarawan, wanitanya disebut biarawati. Ulama tidak pernah disebut –misalnya- masjidiwan. .
Hanya saja di sini ada pertanyaan besar. Jika memang Islam begitu sempurna hingga mengatur urusan kenegaraan, kenapa tak satu pun negeri muslim menggunakan Syariat Islam sebagai dasar negara secara utuh? Padahal kita punya konsep, koq tidak digunakan. Sementara Kristen tidak ada konsep tetapi ada negera yang tegas menyebut diri negara Katolik Vatikan! Konsep apa yang mereka digunakan? Bahkan yang bukan agama seperti sekulerisme (Turki), sosialisme (Irak), komunisme (RRC), kapitalisme (Amerika Serikat), ada negara yang menggunakannya sebagai ideologi negara. Kenapa ini?
Jawabannya adalah pertama, para penguasa di negeri-negeri muslim adalah orang tidak mengerti, atau mengerti tetapi tidak mau, atau mengerti tetapi tidak mampu, atau memang anti Islam. Mereka menerima dengan terbuka jika Islam hanya berbicara shalat, dzikir, dan haji, namun dengan Islam ideologis, berbicara kepemimpinan dan kekuasaan, mereka menghadapi dengan tangan besi.
Kedua, sudah ada yang menggunakannya, seperti Pakistan ketika Zia ul Haq menjadi kepala pemerintahan, ia menerapkan Syariat Islam. Namun konspirasi Barat dan kaum munafiq di Pakistan, telah membunuhnya pada 17 Agustus 1988, pesawat yang ditumpanginya diledakkan. Jadi, dunia tidak marah dan ridha dengan lahirnya negara katolik, sosialis, komunis, kapitalis, pancasilais, dan lain-lain, tetapi mereka murka jika lahirnya Negara Islam, embargo PBB menunggu, hak veto siap diluncurkan, pokoknya asal jangan Islam! Inilah ketidakadilan negara-negara dunia terhadap umat Islam. Memang, sejak kapan mereka adil terhadap dunia Islam? Fa’tabiruu ya ulil abshaar!
6. Al Murunah (Fleksibel antara yang tetap- tsawabit, dan berubah - mutaghayyirat)
Islam memiliki muatan yang tetap, tidak berubah selamanya –baik ditambah, dikurang, dipindah. Seperti Rukun Islam, Rukun Iman, arah kiblat, kalimat syahadat, waktu puasa ramadhan, waktu-waktu shalat wajib, tempat haji dan umrah, waktu haji, jumlah rakaat shalat wajib (kecuali qashr, itu jika syarat terpenuhi, dan hanya zhuhur, ashar, isya)
Sejak awal pensyariatannya, sampai nanti tidak berubah bahwa; Idul fithri adalah 1 Syawal, wukuf 9 Zulhijjah, Idul Adha 10 Zulhijjah, ayamut tasyrik 11,12,13 Zulhijjah dan haram berpuasa ketika hari raya dan ayamut tasyrik, tidak dibenarkan haji dibukan bulannya, nikah mut’ah adalah haram, shalat fardu adalah fardhu, shalat sunah adalah sunah, dan sebagainya. Jadi, inilah syariat Islam. Tetap sepanjang masa dan di mana saja. Adapun yang berubah bukannya syariat, melainkan fatwa atau ijtihad.
Fatwa dan ijtihad para ulama bisa berubah dan berbeda, karena perbedaan zaman, kondisi, kebiasaan, dan –mungkin- watak manusia. Dahulu ini itu dilarang, sekarang dibolehkan karena kondisi sudah berubah. Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang ziarah kubur, akhirnya ia membolehkan bahkan menganjurkannya, ketika aqidah umat Islam saat itu sudah menghujam. Dahulu Rasulullah melarang menulis hadits, sebab khawatir mereka melalaikan Al Qur’an atau tercampur dengan Al Qur’an, namun ketika ilmu mereka sudah mapan dan banyak yang hapal Al Qur’an, justru Rasulullah memerintahkan menuliskan dan menyampaikan hadits-haditsnya. Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan untuk menahan diri dari jihad ketika keadaan umat Islam masih sedikit dan lemah, justru yang diperintahkan adalah da’wah dan sabar, tetapi ketika sudah kuat dan jumlah memadai, Allah Jalla wa ‘Ala memberikan izin dengan ayat Udzina lilladzina yuqataluna biannahum zhulimu …Telah diizinkan (untuk berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena mereka telah dizalimi …
Imam Ibnu Abidin berkata dalam Hasyiah-nya, “Masalah-masalah fiqhiyah adakalanya ditetapkan hukumnya berdasarkan nash (teks) yang jelas (sharih) dan adakalanya ditetapkan melalui ijtihad. Pada umumnya, seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan kebiasaan yang berkembang pada zamannya. Seandainya ia berada pada zaman yang lain dengan kebiasaan yang baru, niscaya ia akan mengeluarkan pendapat bahwa mujtahid harus mengenali kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dapat dimengerti jika banyak ketetapan hukum berbeda-beda lantaran perbedaan zaman. Dengan kata lain, jika suatu diktum hukum ditetapkan seperti sediakala, niscaya timbul banyak kesulitan (masyaqqat) dan keburukan (mudharat) bagi manusia.”
Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam I’lamul Muwaqi’in-nya berkata, “Seorang faqih adalah orang yang mengaplikasikan secara sinkron nilai yang ideal dan nilai yang sedang terjadi, karena setiap masa memiliki ketentuan hukum tersendiri dan manusia cermin kemiripan dengan kondisi masa mereka seperti kemiripan mereka dengan orang tua mereka.”
Para Imam telah mencontohkan, bahwa fatwa dan ijtihad mereka bias berubah karena perbedaan zaman, kondisi, dan tempat. Imam Nashirus Sunah Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu memiliki kumpulan pandangan fiqihnya ketika masih di Baghdad yang disebut dengan Qaul Qadim (pendapat lama), ketika ia hijrah ke Mesir ia merevisinya menjadi Qaul Jadid (pendapat baru), karena perbedaan kondisi dan kebiasaan masyarakat Baghdad dan Mesir.
Seorang ulama pengikut madzhab maliki, pernah memelihara anjing untuk menjaga rumah atau kebunnya. Padahal Imam Malik memakruhkannya. Lalu ada seorang bertanya, “Kenapa engkau memelihara anjing, bukankah Imam Malik membencinya?”, Ulama itu menjawab, “Seandainya Imam Malik masih hidup, niscaya bukan anjing yang dipelihara, tetapi singa!”
Jawaban ulama ini dikarenakan zaman ia hidup berbeda dengan zaman Imam Malik, kejahatan sangat banyak, maka jika Imam Malik yang membenci memelihara anjing hidup di zaman itu, niscaya akan merubah pendapatnya, bukan hanya anjing tetapi singa juga boleh.
Contoh lain, Imam Taqiyuddin As Subki, Syaikhul Azhar Musthafa al Maraghi, dan Al ‘Allamah Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah, berpendapat untuk menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal, lebih utama menggunakan hisab, bukan ru’yah. Karena kemajuan zaman telah mengantarkan manusia pada ilmu yang lebih pasti yaitu ilmu falak. Sedangkan ruyatul hilal (melihat bulan sabit) yang dilakukan oleh manusia mungkin saja keliru atau mungkin benar, bisa jujur atau dusta. Tentunya, yang jelas kepastiannya harus didahulukan dibanding yang masih serba mungkin (muhtamal).
Pendapat ini ditentang oleh banyak ulama, juga seorang ulama hadits Mesir Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah. Namun akhirnya, Syaikh Ahmad Syakir merevisi pendapatnya, ia mengatakan, “Dulu aku dan beberapa saudaraku termasuk di antara orang-orang yang menentang Al Ustadz Al Akbar (Maksudnya Syaikh Musthafa al Maraghi) dalam pendapatnya. Namun sekarang saya tegaskan bahwa beliaulah yang benar. Bahkan aku tambahkan wajib hukumnya menggunakan hisab dalam menentukan bulan-bulan dalam segala situasi dan keadaan, kecuali bagi orang yang tidak menguasai ilmu hisab.” (Fatawa Mu’ashirah, II/222)
Jadi, perubahan tersebut bukan hanya seorang ulama meralat pendapatnya yang lama, tetapi juga seorang ulama meralat pendapat gurunya atau kawannya, karena sebab-sebab yang dibenarkan. Wallahu A’lam bish Shawab wa Lillahil ‘Izzah
No comments:
Post a Comment