Tidak bisa dipungkiri, antara wanita dan bekerja adalah sebuah polemik. Dalam satu sisi, jelas disebutkan dalam Al-Qur’an,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya…….” (Al-Ahzab:33)
Dari ayat tersebut Allah memberikan kemuliaan bagi para istri Nabi
dan ummul mu’minah lainnya untuk mengemban tugas suci yakni mengurus
rumah tangga dan mendidik generasi-generasi baru.
Wanita memang istimewa, mereka memang dipersiapkan Allah untuk tugas
itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak
boleh dilupakan ataupun diabaikan oleh faktor material dan kultural apa
pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran wanita
dalam tugas besarnya ini.
Dengan kata lain, padanyalah masa depan umat
ini dan dengannya pula terwujud kekayaan yang paling besar yakni
kekayaan yang berupa manusia (sumber daya manusia). Sebagaimana telah
sampai kepada kita, kisah yang begitu mengharukan serta mempesona dari
seorang wanita bernama Tumadhir binti Amru atau Al-Khansa dengan keempat
putranya yang syahid fii sabilillah. (Lihat SwaraQuran edisi no.6 tahun
2006)
Pekerjaan rumah meskipun terlihat sepele tetapi pahala yang
dijanjikan Allah u begitu besarnya, sebanding dengan pahala jihad fii
sabilillah yang dilakukan oleh suami mereka.
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman),
’Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan….’”(QS. Ali Imran:195)
Siapapun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka
kerjakan.” (QS. An Nahl:97)
Tetapi di sisi lain, kita tidak dapat menutup mata terhadap berbagai
realita di sekitar kita dimana terkadang wanita berada dalam beberapa
kondisi berikut ini.
Kondisi “Sulit”
Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedangkan
tidak ada orang atau keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya,
kemudian dia sendiri melakukan usaha untuk mencukupi dirinya dengan
minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.
Kondisi keluarga yang “memaksa”
Misalnya membantu suami, seperti hanlnya yang dilakukan oleh Asma’ binti
Abu Bakar –yang mempunyai dua ikat pinggang- biasanya membantu
suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian
untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya
dari kebun yang jauh dari Madinah.
Membantu ayahnya yang sudah tua, sebagimana kisah dua orang putri
seorang syaikh yang sudah lanjut usia yang menggembalakan kambing
ayahnya, sepeti dalam Al-Quran,
“…… Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak
kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang
bapak kami adalah orang tua yang Telah lanjut umurnya”.(QS.
Al-Qashash:23)
Keberadaannya memang dibutuhkan di masyarakat
Melakukan tugas-tugas yang sesuai dengan fitrah kewanitannya. Misalnya
seperti mengobati dan merawat wanita, mengajar anak-anak putri, dan
kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita.
Dalam sejarah, kita mengenal seorang bidan muslimah yakni Ummu
Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, istri Umar bin Khattab. Selain itu ada
Asy-Syifa’ binti Abdullah bin Adbu Syams dari suku Quraisy
Al-Adawiyyah, yang merupakan guru wanita pertama dalam Islam, dan
diantara yang menjadi muridnya adalah Hafshah binti Umar bin Khattab,
istri Rasulullah . Ia mengajarkan tulis menulis dan pengobatan dengan
ruqyah. Sedangkan Ummu Sulaim binti Milhan mengajarkan kita tentang
ketegaran seorang dai wanita dalam mengimplementasikan Islam pada
lingkup pribadi, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Radhiyallohu anhum.
Bila ternyata ada hal-hal yang memaksa untuk bekerja, ada beberapa
hal yang patut diperhatikan, untuk melegalkan wanita untuk keluar rumah
agar tidak bertentangan denagn syara’.
1. Hendaknya pekerjaan itu sendiri disyariatkan
Artinya, pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang
haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau
wanita menjadi sekretaris khusus bagi seorang direktur yang karena
alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari
yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau
bekerja di bar-bar untuk menghindari minuman-minuman keras –padahal
Rasulullah telah melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan
menjualnya.
Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan
minuman-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram,
bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas
lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun
khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. ….’”(An-Nuur 31)
“…..Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. …..”(An-Nuur 31)
“…..Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
perkataan yang baik”(Al-Ahzab: 32)
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan kewajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan.
Seperti kewajiban terhadap suami atau anak-anaknya yang merupakan tugas
untama seorang wanita. Perlu adanya kesadaran yang menyeluruh dan
keikhlasan dari pihak istri.
Meminta pengertian dari suami adalah hal yang lain, sedangkan kewajiban
adalah hal yang lain pula. Tanggung jawab yang diemban wanita semenjak
seorang lelaki “meminta”nya adalah hal yang berhubungan langsung dengan
rabbnya. Meskipun “perdamainan” diantara keduanya diperbolehkan, tetapi
akan lebih mulia kedudukan seorang wanita apabila mampu menjaga
keluarganya. Merupakan salah satu penyebab retaknya keluarga adalah
ketika wanita melupakan –sengaja melupakan atau merasa terpaksa
melupakan- keluarganya.
Allah tidak menciptakan manusia melainkan untuk menguji siapakah
diantara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu, wanita
diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki –dan dengan amal yang
lebih secara khusus (membina keluarga)- untuk memperoleh pahala dari
Allah sebagaimana halnya laki-laki. Dan agar amal yang dilakukan tidak
sia-sia, amalan itu harus selalu berniat karena Allah atau jauh dari
keterpaksaan maupun tujuan dunia yang hina serta ittiba’ Rasulullah .
Berbahagialah ketika kita menjawab pertanyaan, ”Apa pekerjaan Anda?”
dengan jawaban, ”Saya seorang ibu rumah tangga”. Karena di dalamnya
terlingkup kemuliaan yang diberikan oleh Allah . Begitu pula
seharusnya, meskipun predikatnya adalah pengusaha, pedagang, dokter,
guru, dan sebagainya, tetapi ketika kita mampu memberi jawaban, ”Saya
seorang ibu rumah tangga,” maka berbahagialah karena kita berarti telah
mampu melaksanakan kewajiban utama kita dan pekerjaan “sambilan” itu.
Inilah implementasi dari pemahaman yang menyeluruh dalam tanggung jawab
ibu rumah tangga.
Sumber: Swaraquran No.7 Tahun ke-6/Dzulhijjah 1427-Muharram 1428/ Januari 2007, hal 56.
http://maramissetiawan.wordpress.com/2007/03/11/disaat-wanita-harus-bekerja/
No comments:
Post a Comment