Salah
satu kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu
sendiri. Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia.
Syariat yang mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga
yang paling sepele. Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat tak lepas dari tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua,
muda, besar, kecil, penguasa, rakyat jelata; semuanya diatur secara adil
dan bij aksana. Bahkan kaum banci pun tak lepas dari pembahasan.
Benar, kaum banci yang sering menjadi
ledekan dan bahan tertawaan, ternyata tidak diabaikan oleh syariat
begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf sebagaimana lelaki dan
wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita mengenal istilah
mukhannats (banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan
khuntsa (interseks/berkelamin ganda).
Masing-masing dari istilah ini memiliki
definisi dan konsekuensi berbeda. Akan tetapi, dua istilah yang pertama
biasanya berkonotasi negatif, baik di mata masyarakat maupun syariat.
Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.
Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan
definisi para ulama tentang banci dan waria, berangkat dari hadits
shahîh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri berikut:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ
النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ: فَأَخْرَجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ
فُلاَنًا
َDari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para
wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’,
maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan
Umar mengusir Si Fulan”[1]
Dalam riwayat lain disebutkan:
،لَعَنَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ
الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بالرِّجَالِ
Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam
melaknat para lelaki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang
menyerupai laki-laki [2]
Riwayat yang kedua ini menafsirkan
tentang yang dimaksud dengan mukhannats dan mutarajjilah dalam hadits
yang pertama. Sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud mukhannats
adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, baik dari cara berjalan,
cara berpakaian, gaya bicara, maupun sifat-sifat feminin lainnya.
Sedangkan mutarajjilah adalah wanita yang menyerupai laki-laki dalam
hal-hal tersebut.[3]
Secara bahasa, kata mukhannats berasal
dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu. Artinya, berlaku lembut. Dari
istilah umum tersebut, maka istilah banci, bencong, waria cocok untuk
mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk istilah, mutarajjilah, mungkin
terjemahan yang paling mendekati adalah “wanita tomboy”.
Dalam Syarahnya, al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullâh mengatakan, bahwa laknat dan celaan Rasûlullâh Shallallâhu
‘alaihi wa sallam tadi khusus ditujukan kepada orang yang sengaja meniru
lawan jenisnya. Adapun bila hal tersebut bersifat pembawaan (karakter
asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha meninggalkannya semaksimal
mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau berusaha meninggalkannya,
dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia berdosa, lebih-lebih bila
ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya tadi.
Adapun sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap tercela ataupun
berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa meninggalkan cara
berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha
meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun
secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa
udzur.[4]
Dari keterangan tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.
Pertama: Banci alami. Yaitu seseorang yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat keji. Maka orang seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas sebagai objek celaan dan laknat.
Kedua: Banci karena sengaja meniru-niru
kaum wanita, dengan melembutkan suara ketika berbicara, atau menggerakan
anggota badan dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan
tercela dan maksiat yang menjadikan pelakunya tergolong fasik.[5]
Pembagian ini juga berlaku bagi wanita
yang menyerupai laki-laki (waria). Sebab pada dasarnya kaum wanita juga
terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana laki-laki, selama
tidak ada dalil yang mengecualikannya.
Jadi, tindakan menyerupai lawan jenis
yang disengaja bukanlah hal sepele. Tindakan itu tergolong dosa besar
dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya tidak hanya berpengaruh secara
lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan. Seorang banci memiliki fisik
seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai wanita. Demikian pula waria
yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki. Mereka sengaja mengubah
fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka pun turut berubah dan
rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria jarang sekali
mendapat hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini merupakan
peringatan dari Allâh Ta'âla agar kita mengambil pelajaran darinya, dan
bersyukur kepada-Nya yang telah menjadikan kita memiliki jiwa dan raga
yang sehat wal afiat.
PROFESI BANCI
Mungkin yang terlintas dalam benak kita ketika membayangkan profesi banci, bencong, waria, ialah seperti penata rias (salon), pengamen, pelawak, penjaja cinta (PSK) atau desainer busana. Akan tetapi, bila kita merujuk ke penjelasan para Salaf, ternyata ada juga yang mereka anggap sebagai profesi banci, dan kini banyak dilakoni oleh lelaki normal, bahkan terkesan sebagai profesi keren, seperti menjadi penyanyi.
Al-Marwazi rahimahullâh meriwayatkan
dari Imam Ahmad rahimahullâh, bahwasanya beliau mengatakan: “Penghasilan
orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan
orang banci tidaklah menyanyikan sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk
zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi
kematian”. Dari sini, jelaslah bahwa Imam Ahmad rahimahullâh menganggap
penghasilan seorang banci sebagai sesuatu yang makruh.[6]
Bila dicermati, yang dimaksud ‘makruh’
oleh Imam Ahmad ialah karâhah tahrîm, alias makruh yang berarti haram.
Sebab beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang sifatnya haram, seperti
bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi orang mati.
Jadi, seorang penyanyi yang nampak gagah
di mata banyak orang hari ini, menurut para Salaf adalah orang banci,
dan penghasilan mereka sifatnya haram, karena diperoleh melalui cara
yang haram. Apalagi jika ia sengaja bertingkah laku seperti wanita
(pura-pura banci), maka lebih haram lagi, sebagaimana yang sering
dilakukan para pelawak.
Demikian pula banci yang bekerja di
salon dan melayani wanita yang bukan mahramnya, ini juga makruh hukumnya
bila ia seorang banci alami, sebab profesi ini justru melestarikan
sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkan sifat
tersebut. Namun bila ia sekedar pura-pura banci, maka pekerjaan ini
jelas haram hukumnya.
Apalagi yang berprofesi sebagai bencong
penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka jauh lebih
diharamkan lagi, karena mereka melakukan perbuatan kaum Luth yang sangat
tercela dan berat sanksinya dalam agama. Bahkan saking bejatnya
perbuatan ini, pelakunya tidak pantas dibiarkan hidup.
BEBERAPA KEBIASAAN BANCI
Pertama : Memacari (Mewarnai) Tangan dan Kaki.
Imam Nawawi rahimahullâh mengatakan, “Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hena) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum lelaki, kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya ialah sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahîh, bahwa Allâh melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang menyerupai lelaki. Demikian pula dalam hadits shahîh dari Anas, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang orang laki-laki menggunakan za’faran. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya; sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi lelaki. Hena (pacar), dalam hal ini juga sama dengan za’faran (saffron).[7]
Imam asy-Syaukani rahimahullâh
mengatakan, “Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan
pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana diketahui, hal ini
dilakukan oleh lelaki yang ingin menyerupai wanita”.[8][
Kedua : Menabuh Gendang.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh mengatakan, “Karena menyanyi, menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para salaf menamakan kaum lelaki yang melakukannya sebagai ‘banci’ (mukhannats). Mereka menamakan para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka.”[9]
Ketiga ; Menyanyi.
Syaikhul-Islam rahimahullâh juga mengatakan, “Salah satu perbuatan muhdats (baru; bid'ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan nyanyian para banci yang terkenal sebagai biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan…”.[10]
Keempat : Berjoget.
Menurut madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud joget di sini, artinya melakukan gerakan miring kesana kemari yang disertai membungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian tarekat sufi.[11]
Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah gemulai seperti orang banci. [12]
Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, berjoget hukumnya makruh.[13]
Ash-Shan’ani rahimahullâh mengatakan:
“Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat;
bukan kebiasaan orang yang mencintai Allâh dan takut kepada-Nya…”.[14]
Kelima : Memangkas Jenggot Dan Mencukurnya.
Maksudnya, ialah jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan, “Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari satu genggam, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang Maghrib dan lelaki banci, maka tidak ada seorang alim pun yang membolehkannya.”[15]
BEBERAPA ATURAN TERKAIT ORANG BANCI
Menjadi Imam Shalat
Jika yang bersangkutan banci alami, maka ia sah menjadi imam shalat. Dan ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya secara kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.
Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia
dianggap fasik. Dan orang fasik hukumnya makruh menjadi imam, demikian
menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan salah satu riwayat
dalam madzhab Maliki.[16]
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam shalat.[17]] Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam az-Zuhri rahimahullâh yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Bukhâri[18]
Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita ?
Masalah ini tidak lepas dari dua kondisi:
Pertama : Jika orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka tidak ada khilaf dalam hal ini bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik.[19]
Kedua : Ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
1. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan
sebagian Hanafiyah memberi rukhsah (keringanan) baginya untuk berada di
tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allâh
ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat wanita, dan siapa saja
yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yaitu: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ yang terjemahannya: "atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)..".[20]
2. Ulama Syafi’iyah dan mayoritas
Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat
terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal
ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal.[21]
Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي
الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا
عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ، فَإِنِّي
أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ
وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ
Sesungguhnya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang
banci, maka Si banci tadi berkata kepada Abdullâh saudara Ummu Salamah,
"Hai Abdullâh, jika besok Allâh menaklukkan kota Thaif bagi kalian; maka
akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailan yang dari depan menampakkan
empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan," maka Rasûlullâh
bersabda, "Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci itu) masuk ke
tempat kalian (kaum wanita)”.[22]
Hadits ini menunjukkan bahwa banci yang
dilarang untuk masuk ke tempat wanita ialah banci yang memiliki
kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan
keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki. Sehingga
dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan
keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang sama sekali tidak
bersyahwat terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.
Kesimpulannya : Pendapat yang râjih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’ân.
Kesaksian Orang Banci
Menurut ulama Hanafiyyah, orang banci yang tertolak kesaksiannya ialah yang sengaja berbicara lemah-lembut dan kemayu (manja) seperti wanita. Adapun bila ia memiliki nada suara yang lembut dan fisiknya lembek secara alami, dan tidak dikenal sebagai orang bejat; maka kesaksiannya masih diterima.[23]
Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
menganggap bahwa menyerupai wanita adalah perbuatan haram yang
menjadikan kesaksian seseorang tertolak. Tentunya, yang dimaksud bila
sengaja menyerupai wanita, bukan karena pembawaannya.[24]
Sedangkan menurut ulama Malikiyah,
diantara yang tertolak kesaksiannya ialah seseorang yang tidak mempunyai
rasa malu, dan termasuk sikap ini ialah bertingkah banci.[25]
Kesimpulannya : Madzhab yang empat
sepakat bahwa status kesaksian orang banci perinciannya seperti yang
dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.
Sanksi Bagi Orang Banci
Lelaki yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama : Laki-laki yang sengaja
bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, ini
tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang
pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan pertimbangan
hakim), sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya. Dalam hadits
disebutkan, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada
orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah.
Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.
Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi:
1. Ta’zir berupa penjara. Menurut madzhab Hanafi, lelaki yang kerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum dengan penjara sampai mereka bertaubat[26]
2. Ta’zir berupa pengasingan. Menurut
madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan walaupun
perbuatannya tidak tergolong maksiat (alias ia memang banci asli). Akan
tetapi pengasingan tadi dilakukan untuk mencari kemaslahatan.[27]
Ibnul-Qayyim rahimahullâh mengatakan,
“Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah hendaklah
seorang banci itu diasingkan; sebab orang banci hanya menimbulkan
kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak mengasingkannya ke
negeri lain yang di sana ia terbebas dari gangguan orang-orang. Bahkan
jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh
dipenjara”.[28]
Kedua : Orang banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi.
Orang banci seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’ yang berpendapat, ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullâh berpendapat, hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau dijungkalkan dari tempat yang tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya.[[29]
NASIHAT BAGI LELAKI BANCI
Sebagai
penutup, kami nasihatkan kepada siapa saja yang tergolong banci, agar
segera bertaubat kepada Allâh Ta'âla. Tekunlah belajar ilmu syar’i yang
dapat mendorong untuk taat kepada Allâh Ta'âla dan menghindari maksiat.
Bertemanlah dengan orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan
menolong dalam kebaikan.
Hendaklah disadari, bahwa orang yang
paling merugi ialah mereka yang merugi di dunia dan akhirat. Ia harus
banyak berdoa, sebab dengan doa, Allâh Ta'âla akan mewujudkan harapan
dan menerima taubatnya.
Wallâhu Ta’ala a’lam.[30]
Wallâhu Ta’ala a’lam.[30]
Oleh: Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
10/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196] melalui www.almanhaj.or.id
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5886. Menurut al-Hâfizh Ibnu Hajar, dalam riwayat versi Abu Dzar al-Harawi –salah seorang perawi kitab Shahîh al-Bukhâri yang menjadi acuan Ibnu Hajar dalam menyusun Fathul-Bâri-, akhir hadits ini menyebutkan bahwa Umar mengusir Si Fulanah (wanita). Adapun dalam riwayat-riwayat lainnya disebutkan Si Fulan (pria).
[2]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5885, dari jalur ‘Ikrimah pula.
[3]. Lihat Mu’jam Lughatil-Fuqaha’, 1/417.
[4]. Fathul-Bâri, 10/332.
[5]. Pembagian ini juga difahami dari penjelasan sejumlah ulama dalam kitab-kitab mereka, seperti Ibnu Abdil-Barr dalam at-Tamhîd, 22/273; Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, 7/462; dan asy-Syirbini dalam Mughnil-Muhtâj, 4/430.
[6]. Talbis Iblis, 1/281; Majalah al-Fiqh al-Islamy, 4/1923.
[7]. Lihat al-Majmu’, 1/294.
[8]. Lihat as-Sailul-Jarrar, 4/126.
[9]. Majmu’ Fatawa, 11/565-566. Lihat pula I’anatut Thalibin, 6/121; Mughnil-Muhtaaj, 4/430; al-Mughni, 12/40.
[10]. Al-Istiqamah, 1/306; Majmu’ Fatawa, 11/565-566.
[11]. Lihat Hâsyiyah Ibnu Abidin, 4/259.
[12]. Lihat al-Minhâj, 1/497, oleh an-Nawawi.
[13]. Lihat Hâsyiyah ash-Shawi, 5/217; al-Inshaf, 6/89.
[14]. Subulus-Salâm, 5/1.
[15]. Hâsyiyah Ibnu Abidin, 2/418.
[16]. Lihat al-Mabsuth, 1/111; al-Umm, 1/166; al-Majmu’, 4/287; asy- Syarh al-Kabîr, 1/326 dan al-Muhalla, 4/212.
[17]. Lihat al-Inshaf, 2/252; Syarah Muntahal Iradat, 1/272; at-Tâj wal-Iklîl, 2/93.
[18]. Shahîh al-Bukhâri, 1/141, secara mu’allaq.
[19]. Lihat Fathul-Qadîr, 2/222; at-Tamhîd, 22/273; Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mughni, 7/462.
[20]. Penggalan dari ayat 31 Surat an-Nûr. Lihat at-Tamhîd, 22/273 dan al-Mughni, 7/462.
[21]. Lihat Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mabsuth, 12/382.
[22]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5887. Yang dimaksud lipatan di sini adalah lipatan perut yang berjumlah empat bila dilihat dari depan, sedangkan dari belakang ujung-ujungnya di kedua sisi berjumlah delapan.
[23]. Fathul-Qadîr, 17/130.
[24]. Al-Muhadzdzab, 2/325 dan al-Mughni, 12/40.
[25]. Hâsyiyah ad-Dasuqi, 4/166.
[26]. Al-Mabsuth, 27/205.
[27]. Mughnil Muhtâj, 4/192; al-Fatawa al-Kubra, 5/529.
[28]. Bada’i al Fawa-id, 3/694.
[29]. Lihat al-Mabsuth, 11/78; al-Fawakih ad-Dawani, 2/209; Raudhatut-Thalibin, 10/90, dan , 10/155.
[30]. Sebagian besar pembahasan dalam tulisan ini diangkat dari artikel berjudul ( الأحكام الشرعية في المخنث ) oleh Ra'fat al- Hamid al- 'Adani, dari situs: www.ahlalhdeeth.com
__._,_.___
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5886. Menurut al-Hâfizh Ibnu Hajar, dalam riwayat versi Abu Dzar al-Harawi –salah seorang perawi kitab Shahîh al-Bukhâri yang menjadi acuan Ibnu Hajar dalam menyusun Fathul-Bâri-, akhir hadits ini menyebutkan bahwa Umar mengusir Si Fulanah (wanita). Adapun dalam riwayat-riwayat lainnya disebutkan Si Fulan (pria).
[2]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5885, dari jalur ‘Ikrimah pula.
[3]. Lihat Mu’jam Lughatil-Fuqaha’, 1/417.
[4]. Fathul-Bâri, 10/332.
[5]. Pembagian ini juga difahami dari penjelasan sejumlah ulama dalam kitab-kitab mereka, seperti Ibnu Abdil-Barr dalam at-Tamhîd, 22/273; Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, 7/462; dan asy-Syirbini dalam Mughnil-Muhtâj, 4/430.
[6]. Talbis Iblis, 1/281; Majalah al-Fiqh al-Islamy, 4/1923.
[7]. Lihat al-Majmu’, 1/294.
[8]. Lihat as-Sailul-Jarrar, 4/126.
[9]. Majmu’ Fatawa, 11/565-566. Lihat pula I’anatut Thalibin, 6/121; Mughnil-Muhtaaj, 4/430; al-Mughni, 12/40.
[10]. Al-Istiqamah, 1/306; Majmu’ Fatawa, 11/565-566.
[11]. Lihat Hâsyiyah Ibnu Abidin, 4/259.
[12]. Lihat al-Minhâj, 1/497, oleh an-Nawawi.
[13]. Lihat Hâsyiyah ash-Shawi, 5/217; al-Inshaf, 6/89.
[14]. Subulus-Salâm, 5/1.
[15]. Hâsyiyah Ibnu Abidin, 2/418.
[16]. Lihat al-Mabsuth, 1/111; al-Umm, 1/166; al-Majmu’, 4/287; asy- Syarh al-Kabîr, 1/326 dan al-Muhalla, 4/212.
[17]. Lihat al-Inshaf, 2/252; Syarah Muntahal Iradat, 1/272; at-Tâj wal-Iklîl, 2/93.
[18]. Shahîh al-Bukhâri, 1/141, secara mu’allaq.
[19]. Lihat Fathul-Qadîr, 2/222; at-Tamhîd, 22/273; Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mughni, 7/462.
[20]. Penggalan dari ayat 31 Surat an-Nûr. Lihat at-Tamhîd, 22/273 dan al-Mughni, 7/462.
[21]. Lihat Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mabsuth, 12/382.
[22]. HR al-Bukhâri dalam Shahîhnya, no. 5887. Yang dimaksud lipatan di sini adalah lipatan perut yang berjumlah empat bila dilihat dari depan, sedangkan dari belakang ujung-ujungnya di kedua sisi berjumlah delapan.
[23]. Fathul-Qadîr, 17/130.
[24]. Al-Muhadzdzab, 2/325 dan al-Mughni, 12/40.
[25]. Hâsyiyah ad-Dasuqi, 4/166.
[26]. Al-Mabsuth, 27/205.
[27]. Mughnil Muhtâj, 4/192; al-Fatawa al-Kubra, 5/529.
[28]. Bada’i al Fawa-id, 3/694.
[29]. Lihat al-Mabsuth, 11/78; al-Fawakih ad-Dawani, 2/209; Raudhatut-Thalibin, 10/90, dan , 10/155.
[30]. Sebagian besar pembahasan dalam tulisan ini diangkat dari artikel berjudul ( الأحكام الشرعية في المخنث ) oleh Ra'fat al- Hamid al- 'Adani, dari situs: www.ahlalhdeeth.com
__._,_.___
http://assunnah-qatar.com/artikel/fiqh/741-banci-dalam-tinjauan-syari-at.html
No comments:
Post a Comment