Pengertian Safar
Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti terbuka, disebut demikian karena orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan. (Ibnu mandhur, Lisan al-Arab).
Oleh karenanya, wanita yang tidak menggunakan jilbab, sehingga sebagian anggota tubuhnya terlihat disebut dengan “Safirah“ (wanita terbuka auratnya).
Adapun Safar secara istilah para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasnya. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing. Mereka berpedoman dengan kaidah fiqih yang menyatakan:
“Setiap istilah yang tidak mempunyai batasan di dalam bahasa Arab, dan tidak pula dalam syariat (al-Qur’an dan sunnah), maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.“
Pengertian Mahram
Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya. (Mukhtar as-Shihah: 1/ 56)
Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.“
Bentuk-bentuk Safar Wanita
Safar yang dilakukan wanita bisa dibagi menjadi tiga bentuk:
Pertama: Safar Mubah, seperti melakukan perjalan untuk rekreasi.
Kedua: Safar Mustahab (yang dianjurkan), seperti melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau menyambung silaturahim.
Imam Baghawi berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/76): “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan melakukan perjalanan yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau mahramnya. Kecuali bagi perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah dari Dar al-Harbi (Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.“
Pernyataan di atas kurang akurat, karena pada kenyataannya terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti yang diriwayatkan dari al-Karabisi salah satu ulama Syafi’iyah yang membolehkan wanita melakukan safar mustahab tanpa disertai mahram.
Ketiga: Safar Wajib, seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji, menolong orang sakit dan berbakti kepada orang tua.
Jika seorang wanita melakukan safar dalam bentuk ketiga ini tanpa mahram, para ulama berselisih pendapat tentang status hukumnya:
Pendapat Pertama, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau.
Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadist yang melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, diantaranya adalah hadist Ibnu Abbas: radhiyallahu 'anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji". Maka Beliau bersabda: "Tunaikanlah hajji bersama istrimu" (HR Bukhori)
Hadits di atas menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah.
Pendapat Kedua, mengatakan bahwa seorang wanita muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram. Dan mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’I, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Dhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau. (al-Majmu’: 8/382, al-Furu’: 3/ 177)
Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombongan wanita yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Berkata Imam al Baji al-Maliki :
“Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa : 3/17)
Dalil mereka sebagai berikut :
Dalil Pertama: Hadist Adi bin Hatim, bahwa Nabi shollallahu alahi wassalam bersabda :
“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka'bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah". (HR. Bukhari)
Hadit di atas berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari : 16 /148)
Dalil Kedua: Atsar Ibnu Umar.
Dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian beliau berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla)
Dalil Ketiga: Atsar Aisyah.
“Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata: “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi)
Dalil Keempat: Kaidah Fiqhiyah.
“ Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya adalah ta’abbud, ( menerima apa adanya tanpa dicari-cari alasannya, seperti jumlah rekaat sholat) dan dalam masalah mu’amalat dasarnya adalah ta’lil.( bisa dicerna dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual beli dan pernikahaan ) ”
Masalah safar wanita termasuk dalam katagori mu’amalat, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman.
Dalil Kelima: Kaidah Fiqhiyah
“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.“
Berdasarkan kaidah di atas, sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Abdurrozaq Afifi (Fatawa wa Rasail: 1/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang. Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya kota-kota besar.
Dalil Keenam: Kaidah Fiqhiyah.
“Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan ( kemaksiatan ), maka dibolehkan pada saat dibutuhkan “
Ketidakbolehan wanita melakukan safar tanpa mahram tujuannya untuk menutup jalan kemaksiatan dan bahaya baginya, maka hal itu menjadi dibolehkan manakala ada kebutuhan, khususnya jika ditemani dengan rombongan yang dipercaya dan keadaan jalan aman.
Pendapat Yang Kuat:
Pendapat yang kuat bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi wanita muslimah berdasarkan hadist dan atsar di atas. Tetapi boleh bersama rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.
Adapun hadist Ibnu Abbas yang mensyaratkan mahram, peristiwa tersebut bukan pada haji wajib, tetapi pada haji yang sunnah. Karena haji baru diwajibkan pada tahun 10 H, dimana Rasulullah pada waktu itu juga melaksanakan ibadah haji.
Walaupun demikian, diharapkan bagi wanita yang ingin melaksanakan haji dan umrah atau melakukan safar wajib lainnya, hendaknya bersama mahramnya, karena itu lebih terhindar dari fitnah dan marabahaya lainnya. Ini pada safar wajib, tentunya dalam safar mubah dan mustahab lebih ditekankan lagi. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu yang dibutuhkan sekali, kita bisa mengambil pendapat ulama yang membolehkan dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Dengan demikian Islam dipahami sebagai agama yang selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, sekaligus memberikan solusi-solusi yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara agama maupun secara sosial disaat tidak ada pilihan lain. Wallahu A’lam.
Bekasi, 29 Rabiul Akhir 1434 / 12 Maret 2013
Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
*Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi. (ahmadzain.com)
br /http://alislamu.com./hukum/6143-hukum-safar-wanita.html
No comments:
Post a Comment