Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA
Zakat Perdagangan atau Perniagaan ialah zakat yang dikeluarkan atas
kepemilikan harta apa saja selain emas dan perak berupa barang,
properti, berbagai jenis hewan, tanaman, pakaian, perhiasan dan
selainnya yang dipersiapkan untuk diperdagangkan, baik secara perorangan
maupun perserikatan (seperti CV, PT, Koperasi dan sebagainya).
Sebagian Ulama mendefenisikannya sebagai segala sesuatu yang
dipersiapkan untuk diperjualbelikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.
HUKUM ZAKAT PERDAGANGAN
Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum zakat barang perdagangan dalam dua pendapat:
Pendapat Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan.
Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Sebagian mereka mengatakan bahwa
hal ini adalah ijma’ (konsensus) para sahabat dan tabi’in.
Mereka melandasi pendapatnya dengan dalil-dalil dari al-Qur’ân, as-Sunnah, atsar para sahabat, tabi’in serta qiyâs.
A. Dalil Dari Al-Qur’ân Yaitu Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh ) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untukmu.” [al-Baqarah/2:267]
Imam al-Bukhâri telah membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab
Zakat dalam Shahih-nya, yaitu: Bab Shadaqatu al-Kasbi wa at-Tijarati
(bab zakat usaha dan perdagangan).
Firman Allâh Azza wa Jalla , “Dari hasil usahamu,” maknanya ialah perdagangan.[1]
B. Dalil Dari As-Sunnah yaitu hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu
anhu , ia berkata: “Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami
persiapkan untuk diperjual-belikan.”[2]
Dan hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu secara marfu’:
فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ
Pada onta ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, dan pada pakaian ada zakatnya. [3]
Kata al-Bazz (di dalam hadits di atas) artinya pakaian, termasuk
didalamnya kain, permadani, bejana dan selainnya. Benda-benda ini jika
dipergunakan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada zakatnya tanpa
ada perbedaan pendapat diantara para Ulama. Dari sini menjadi jelaslah
bagi kita, bahwa yang dimaksud ialah jika benda-benda tersebut dijadikan
obyek bisnis.
Hanya saja kedua hadits tersebut dha’if (lemah). Tetapi masih bisa
berdalil tentang wajibnya zakat barang perdagangan dengan memasukkannya
ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’âdz
bin Jabal Radhiyallahu anhu :
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
Beritahukan kepada mereka, bahwa Allâh mewajibkan atas mereka zakat yang
diambil dari (harta-harta) orang-orang kaya diantara mereka…”.[4]
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
tentang penolakan Khâlid bin Walid Radhiyallahu anhu membayar zakat, dan
orang-orang (yakni para sahabat) mengadukannya kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا ، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Adapun Khâlid, sesungguhnya kalian telah menzhaliminya. Dia menahan
pakaian perangnya dan mempersiapkannya untuk perang fi sabilillah…”.[5]
Seolah-olah mereka menyangka bahwa barang-barang itu dipersiapkan untuk
perdagangan, sehingga mereka bersikukuh untuk mengambil zakat dari hasil
penjualannya. Lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan
kepada mereka bahwa tidak ada zakat pada harta yang ditahannya itu.[6]
C. Dalil Dari Atsar Para Sahabat
Diriwayatkan dari Ibnu Abidin al-Qari rahimahullah , ia berkata, “Dahulu
aku bekerja di Baitul Mal pada masa (pemerintahan) Umar bin Khaththab
Radhiyallahu anhu . Tatkala dia mengeluarkan pemberiannya, dia
mengumpulkan harta-harta para pedagang dan menghitungnya, baik yang
hadir maupun yang tidak hadir, kemudian mengambil zakat dari pemilik
harta yang hadir dan tidak hadir.”[7]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Tidak ada
zakat pada barang-barang kecuali jika dipersiapkan untuk
diperdagangkan.”[8]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Tidak
mengapa menahan barang hingga dijual, dan zakat wajib padanya.”[9]
Tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi perkataan Umar
bin Khaththab Radhiyallahu anhu , putranya dan Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhum. Bahkan hal ini terus diamalkan dan difatwakan pada masa tabi’in
dan pada zaman Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Demikian pula para
Ulama fiqih di masa tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka
telah bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan.
Pendapat Kedua: Tidak Wajib zakat pada barang-barang perdagangan. Ini
adalah madzhab Zhâhiriyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti
imam Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan syaikh al-Albâni. Mereka
melandasi pendapatnya ini dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya, dalil
dari hadits:
1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
Tidak ada zakat atas seorang Muslim pada budak dan kuda tunggangannya.[10]
Hadits yang dijadikan hujjah bagi pendapat kedua ini telah dijawab oleh
mayoritas Ulama (penganut pendapat pertama), bahwa yang ditiadakan dalam
hadits di atas yaitu kewajiban zakat dari budak yang biasa membantu dan
kuda yang biasa ditungganginya. Keduanya merupakan kebutuhan yang tidak
terkena beban zakat, menurut ijma’ para Ulama.
2. Hadits Qais bin Abu Gharzah Radhiyallahu anhu , ia berkata,
"Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, ketika
kami menjual budak yang kami namakan as-Samasirah, maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ ْبَيْعَكم يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Wahai para pedagang, sesungguhnya penjualan kalian ini tercampur oleh
perkara sia-sia dan sumpah, maka tutupilah dengan sedekah (zakat) atau
dengan sesuatu dari sedekah. [11]
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Ini adalah sedekah yang difardhukan
tanpa ditentukan, tetapi yang mereka keluarkan dengan kerelaan hati dan
menjadi kafarat (penghapus kesalahan) bagi semua yang mengotori
jual-beli berupa hal-hal yang tidak sah seperti kata-kata kotor dan
sumpah.” Dan berbagai dalil atau argument lainnya yang dikemukakan oleh
Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (V/233 dan sesudahnya).
Itulah dua pendapat tentang hukum zakat perniagaan ini. Setelah kita
paparkan kedua pendapat di atas beserta dalilnya masing-masing, maka
yang nampak rajih (kuat dan benar) adalah pendapat pertama, yakni
pendapat mayoritas Ulama yang menetapkan wajibnya mengeluarkan zakat
harta perdagangan.” wallahu a’lam bish-showab.
SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN ZAKAT PADA BARANG-BARANG PERDAGANGAN
1. Barang-barang yang jadi obyek bisnis ini tidak termasuk barang yang
asalnya wajib dizakati, seperti binatang ternak, emas, perak, dan
sejenisnya. Karena menurut ijma’ para Ulama, dua macam kewajiban zakat
tidak bisa berkumpul pada satu barang. Tetapi ia wajib mengeluarkan
zakat barang-barang perdagangan itu –berdasarkan pendapat yang rajih-,
karena zakat benda lebih kuat dalilnya daripada zakat perdagangan,
karena telah terjadi ijma’ (konsensus para ulama) atas hal itu.
Barangsiapa memperdagangkan barang-barang di bawah nishob benda-benda
tersebut , maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[12]
2. Mencapai nishab, yaitu seukuran nishab uang (atau sama dengan nilai 85 gram emas murni).
3. Barang-barang tersebut telah berputar selama satu tahun Hijriyyah.
4. Kewajiban zakat ini dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.
5. Pada badan usaha yang berbentuk serikat (kerjasama), maka jika semua
anggota serikat tersebut beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu
sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang berserikat. Tetapi jika
anggota serikat terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya
dikeluarkan dari anggota serikat Muslim saja (apabila jumlahnya telah
mencapai nishab).
KAPAN DIHITUNG NISHAB PADA HARTA PERDAGANGAN
Berkenaan dengan waktu perhitungan nishab harta perdagangan ada tiga pendapat :
Pertama : Nishab dihitung pada akhir haul (ini pendapat imam Mâlik dan imam asy-Syâfi’i).
Kedua : Nishab dihitung sepanjang haul (putaran satu tahun hijriyyah),
dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat
saja, maka terputus haul itu (ini madzhab mayoritas ulama).
Ketiga : Nishab dihitung pada awal haul dan di akhirnya, bukan di tengahnya (madzhab Abu Hanîfah).
BAGAIMANA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT HARTA PERDAGANGAN ?
Jika telah tiba waktu mengeluarkan zakat, maka wajib bagi pedagang untuk
mengumpulkan dan mengkalkulasi hartanya. Harta yang wajib dikalkulasi
ini meliputi :
1. Modal usaha, keuntungan, tabungan (harta dan barang simpanan) dan harga barang-barang dagangannya.
2. Piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi.
Ia menghitung harga barang-barang dagangannya lalu ditambahkan dengan
uang yang ada di tangannya dan piutang yang masih ada harapan dan masih
ada kemungkinan akan dilunasi, lalu dikurangi dengan utang-utangnya.
Kemudian dari nominal itu, ia mengeluarkan sebanyak dua setengah persen
(2,5 %) berdasarkan harga penjualan ketika zakatnya hendak ditunaikan,
bukan berdasarkan harga belinya.
Inilah pendapat mayoritas Ulama fiqih dan disepakati oleh imam Mâlik rahimahullah.
Berikut ini kami cantumkan rumus sederhana perhitungan zakat barang-barang perdagangan.
BESAR ZAKAT = [(Modal diputar + Keuntungan + Piutang yang dapat dicairkan) - (Hutang + Kerugian)] x 2.5%
Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri,
agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha
(seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 Dinar
(setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada
akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung)
lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni (asumsi jika per-gram
Rp. 550.000,- = Rp Rp.46.750.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya
sebesar 2,5 %.
Contohnya : Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan sbb :
• Meubel dan kusen yang belum terjual seharga Rp. 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)
• Uang tunai Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah)
• Piutang Rp. 27.000.000 (Dua puluh tujuh juta rupiah)
• Jumlah Rp 327.000.000 (Tiga Ratus dua puluh tujuh juta rupiah)
• Utang Rp. 17.000.000 (Tujuh belas juta rupiah)
• Saldo Rp 310.000.000 (Tiga ratus sepuluh juta rupiah)
• Besar zakat = 2,5 % x Rp 310.000.000,- = Rp. 7.750.000,- (Tujuh juta
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Inilah jumlah zakat barang dagangan
yang harus dikeluarkan.
Catatan: Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan
bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang
wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak
berkembang).
APAKAH ZAKAT BARANG PERDAGANGAN DIKELUARKAN DALAM BENTUK BARANG DAGANGAN ATAU HARGANYA SAJA ?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat Ulama :
Pertama : Wajib mengeluarkannya dalam bentuk harganya (uang), dan tidak
boleh mengeluarkan barangnya, karena nishabnya dihitung berdasarkan
harga barang. Ini pendapat mayoritas Ulama.
Kedua : Seorang pedagang diberi plihan antara mengeluarkan barang atau
harganya (uang). Ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan
asy-Syâfi’i –pada salah satu pendapatnya-.[13]
Ketiga : Memberikan rincian dengan melihat dan mempertimbangkan
kemaslahatan orang yang akan menerima zakat. Ini adalah pendapat yang
dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.[14]
Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta
perdagangan serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga
menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu
Ta’ala A’lam Bish-Showab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2011.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir ath-Thabari (V/555), Ahkâmul Qur’an karya Ibnu al-‘Arabi (I/235), dan selain keduanya
[2]. HR. Abu Daud no.1562, al-Baihaqi I/97, dan ad-Daruquthni , dan
selainnya dengan sanad dha’if. Lihat Irwâ’ al-Ghalîl karya Syaikh
al-Albâni no.827
[3]. HR. Ahmad dalam al-Musnad V/179 no.7848, al-Baihaqi IV/147 no.7389,
dan ad-Daruquthni II/101. Lihat Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah karya
syaikh al-Albâni III/177 no.1178
[4]. HR. al-Bukhâri II/505 no.1331, dan Muslim I/50 no.29.
[5]. HR. al-Bukhâri II/534 no.1399, dan Muslim II/676 no.983.
[6]. Lihat Fathul Bâri III/392. al-Hâfizh Ibnu Hajar t berkata, “Perkara
ini membutuhkan penukilan khusus sehingga dapat dijadikan hujjah."
[7]. al-Amwâl, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan al-Muhalla. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm
[8]. Sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh imam asy-Syâfi’i dalam kitab
al-Umm II/68, Abdurrazzaq, IV/97, dan al-Baihaqi IV/147, dengan sanad
shahih
[9]. al-Amwâl, hlm.426, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla V/234
[10]. HR. al-Bukhâri II/532 no.1395, dan Muslim II/675 no. 982.
[11]. HR. Ahmad dalam al-Musnad IV/6 no.16184, an-Nasai VII/247 no.4463,
Abu Daud II/262 no.3326, dan Ibnu Mâjah II/726 no.2145, dan selainnya.
[12]. Lihat al-Majmû’ karya imam an-Nawawi VI/50, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/34.
[13]. Lihat al-Badâ'i II/21, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/31.
[14]. Lihat Majmû’ al-Fatâwâ XXV/80.
http://almanhaj.or.id/content/3683/slash/0/panduan-praktis-zakat-barang-perdagangan/