Di zaman Nabi, masjid memiliki multifungsi. Maka ketika hijrah ke Madinah pertama kali yang didirikan adalah masjid. Selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi mengatasi problematika sosial
Hidayatullah.com--Seorang pakar islam kontemporer Syeikh Said Hawa pernah mengatakan; Inna ’ashrana hadza mamlu-un bi Asy Syahawati wa asy-Syubuhati wa Al Ghoflah (Sesungguhnya kurun kita ini diliputi oleh suasana yang mengundang nafsu syahwat, kerancuan terhadap kebenaran dan melalaikan kehidupan akhirat). Menurut beliau, benteng pertahanan terakhir ummat dalam memagari jati dirinya dari kontaminasi polusi zaman adalah keluarga dan masjid.
Kesederhanaan manajeman Nabi dalam mengelola masjid telihat antara lain sewaktu beliau shalat, usai shalat beliau selalu menghadap jamaah untuk mengecek barangkali ada sebagian jamaah yang berhalangan hadir. Pada suatu ketika salah seorang jamaah inti tidak hadir dalam shalat, beliau bertanya , Mana si Fulan ?. Salah seorang makmum menjawab, si Fulan sedang sakit. Kemudian beliau mengunjungi Fulan di rumahnya. Itu menunjukkan bahwa Rasulullah Saw, sangat perhatian kepada jamaahnya. Perbuatan beliau sejatinya diteladani pengurus dan imam masjid.
Selesai shalat Jumat, dari atas mimbar Rasulullah Saw, selalu menanyakan jamaahnya, Siapakah yang hari ini ada kesulitan atau kekurangan ? Apabila ada yang mengangkat tangannya (sebagai tanda jamaah itu sedang dalam kesulitan atau kekurangan), Nabi memintanya untuk menjelaskan kesulitan yang dihadapinya dan kemudian beliau bertanya lagi, “Apakah diantara jamaah yang telah hadir diberi keluasan rizki oleh Allah ?”.
Begitulah cara Nabi. Sehingga yang mempunyai kelebihan dapat meringankan beban yang kesulitan. Jika cara ini diterapkan maka problematika kemiskinan ummat setiap minggu akan bisa dipecahkan. Betapa efektif masjid-masjid di tanah air yang jumlahnya ratusan ribu dalam mengantisipasi krisis ummat jika menerapkan manajemen sederhana Rasulullah saw, tersebut. Dan semestinya ummat islam yang merupakan bagian terbesar bangsa ini akan hidup sejahtera dan damai.
Kurang Multi Fungsi
Krisis multidimensional yang terjadi sekarang ini menyebabkan citra Indonesia di dalam negeri dan di mata dunia internasional semakin terpuruk. Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal religius, memiliki budaya pemaaf, paternalistik, toleran (tepo sliro, Jawa), gotong royong menjadi kejam dan koruptor. Bangsa Indonesia jika menduduki posisi tertentu cenderung memperkaya diri, berfikir jangka pendek, kata Prof. Toshiko Komoshita, intlektual Jepang. Indonesia adalah sarang penyamun berdasi, lahan subur KKN mulai tingkat pejabat eksekutif pusat hingga jajaran birokrasi tingkat RT (hasil surve lembaga Non Government Organization dari Jerman, diterbitkan lewat majalah der Spiegel).
Stateman pakar asing dan hasil surve intitusi luar negeri yang tidak menguntungkan diatas tentu mengarah kepada ummat islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia. Untuk sementara penulis berkesimpulan, bahwa keterpurukan ummat disebabkan oleh beberapa point berikut;
Pertama : Ada kecenderungan ummat Islam tidak mengamalkan Al-Quran dan As Sunnah secara murni dan konsekuen. Mereka sering tidak melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan penting. Baik menyangkut persoalan individu, keluarga dan masyarakat (QS. Thaha : 124).
Mengomentari ayat ini Ibnu Katsir berkata; “Barangsiapa yang berpaling dari ketetapan Allah dan atau sengaja melupakannya, akan menemui kehidupan yang serba sulit (ma’isyatan dhonkan), tidak merasakan ketenangan dan kelapangan dada disebabkan kesesatannya, sekalipun secara lahiriyah sejahtera, bisa berpakaian, bertempat tinggal, makan sesuka hatinya. Tetapi jiwanya goncang, bingung dan diliputi keragu-raguan.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir II, hal. 479).
Kedua; Ummat Islam meyakini bahwa Rasulullah Saw sebagai figur sentral terbaik, tetapi mereka meneladaninya (ta-assi) hanya dalam mulut dan tidak diimplementasikan dalam perilaku sehari-hari di tempat kerja, kantor, sekolah, pasar atau di tempat yang lain. Sekalipun secara serimonial, dan upacara peringatan maulid ummat islam melakukannya secara serempak dan gegap gempita, tetapi keagungan pribadi (syakhshiyyah) Rasulullah masih belum sepenuhnya di teladani. Kaya dalam upacara, tetapi miskin dalam aplikasi.
Untuk mengantisipasi kondisi diatas, ummat Islam memiliki tanggungjawab moral membantu negara keluar dari hal-hal paradoksal.
Lihatlah jumlah jamaah shalat lima waktu terutama shubuh, belum lagi dengan pakaian yang berwarna-warni, diperparah dengan shaf (barisan shalat) yang tidak rapi. Apalagi jika kita mencermati kualitas komunikasi yang dibangun antara jamaah usai menunaikan shalat, sungguh masih belum berjalan sesuai harapan. Dari sini bisa dievalusi betapa kualitas ummat dalam meneladani Rasulullah Saw ketika di masjid masih jauh ketinggalan.
Pada zaman Nabi Muhammad Saw, masjid memiliki multifungsi. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah pertama kali yang didirikan adalah masjid. Selain sebagai tempat ibadah, juga menimba ilmu, tempat mempersaudarkan (ta-akhi) suku yang saling bermusuhan selama berabad-abad, tempat berbagi sesama, penggalian dana dan pendistribusiannya, tempat penggemblengan calon pemimpin (kawah condrodimuko), tempat bermusyawarah dan tempat mewujudkan kesejahteraan bersama.
Oleh karena itu tugas imam shalat tidak sekedar memimpin shalat jamaah, tetapi mendidik, mengayomi dan mengarahkan ummat dalam segala aspek kehidupannya. Maka, seorang imam dan jamaah inti adalah orang yang dapat dipercaya dan terbaik (level inti) dari ummat. Imam masjid dituntut memiliki kemampuan manajerial yang tinggi dan memiliki komitmen untuk mengurbankan tenaga dan waktunya untuk memakmurkan masjid. Dengan standar demikian, dia mampu melaksanakan tanggungjawabnya dengan sebaik-baiknya. (QS. at- Taubah (9) : 17).
Makmurkanlah Masjid-masjid
Memakmurkan masjid berarti membangun, memperkuat bangunannya dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak (secara material), dan memakmurkannya dalam aspek immaterial (moril), mendirikan shalat, berdzikir, mencari ilmu dan aktifitas ibadah lain yang merupakan tujuan utama didirikannya. (QS. an-Nur : 36), (Tafsir al-Ahkam, Ali Ash Shobuni II). Abu Bakar Al Jashshash mengatakan, memakmurkan masjid itu mengandung dua pengertian yaitu : Berkunjung dan berdiam di masjid. Membangun dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. I’tamaro yang berarti ziarah, berkunjung. Misalnya kata ‘umrah, berarti ziarah ke Baitullah. (Ahkamul Quran, Al Jashshash, II : 87).
“Barangsiapa yang mencintai masjid, maka Allah mencintainya,” [HR. Thabrani].
“Barangsiapa yang mendirikan masjid karena Allah sekalipun sebesar sarang burung, maka Allah akan mendirikan sebuah rumah untuknya di surge.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].
Secara jujur dan obyektif kita mengakui betapa masjid-masjid di tanah air mengalami kemandekan. Belum memainkan fungsi dan peranannya secara maksimal. Masjid tidak berdaya mengatasi problematika sosial kemasyarakatan. Orang meminta-minta di sekitar masjid, anak-anak jalanan, kenakalan remaja, belum bisa diantisipasi secara signifikan. Betapa keteladanan Rasulullah Saw, di masjid yang mempunyai kandungan manajeman tingkat tinggi, baru sebatas sebagai bahan diskusi, seminar dan forum-forum ilmiah. Salah satu fungsi masjid sebagai baitul mal, belum bisa diwujudkan, sehingga para pengemis di sekitarnya semakin meningkat jumlahnya. Sangat kontradiktif dengan bangunan phisik masjid yang megah, dengan pemandangan manusia yang berpakaian compang camping di sekelilingnya. Keindahan bangunannya tidak diimbangi dengan kesejahteraan dan kemakmuran jamaahnya.
Beberapa ormas Islam pernah mengusung “Gerakan back to masjid”. Hidayatullah beberapa pernah meluncurkan 1.000 dai di seluruh kabupaten dan propinsi di Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah dan berbagai elemen bangsa, khususnya ummat Islam. Sebagai usaha mengentaskan krisis multidimensional yang menjerat bangsa. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) juga meluncurkan program dai-dai pasca-sarjana dan doctoral dan mengisi masjid-masjid.
Masjid yang akan ditangani oleh para dai di seluruh tanah air tidak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah shalat, tetapi sebagai pusat kegiatan pendidikan, ekonomi, sosial budaya, informasi dunia Islam. Dengan demikian memakmurkan masjid memiliki fungsi yang sangat luas.
Pendirian Sekolah Terpadu, TPA/TPQ, perpustakaan multi media (al-Maktabah Asy-Syamilah), pembinaan remaja masjid, koperasi, poliklinik, unit penggalian dana dan pendistribusiannya, konsultasi, bantuan hukum, bursa tenaga kerja, sekolah, kantor, warnet, atau bank syariat adalah pengembangan dari fungsi penting sistem manajemen masjid. Mari kita kembali ke masjid, semoga di dalamnya kita menemukan kedamaian, kesejahteraan, persaudaraan yang hakiki yang selama ini kita dambakan. Juga menyelesaikan persoalan sosial diantara kita semua. Wallahu a’lam. [www.hidayatullah.com]
Oleh: Shalih Hasyim*
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9814:mari-kembali-ke-masjid&catid=161:tazkiyatun-nafs&Itemid=81
No comments:
Post a Comment