Mafia hukum dan peradilan telah mengakibatkan kemiskinan, ketidak adilan dan korupsi besar-besaran dalam semua lini, khususnya di pemerintahan.
Mafia hukum dan peradilan di negeri ini sebenarnya sudah berjalan puluhan tahun dan sudah akut, kendati secara mata telanjang kita menyaksikannya beberapa hari lalu, saat Mahkamah Konstitusi (MK) meperdengarkan rekaman penyadapan pembicaraan telpon antara Anggodo, seorang pengusaha asal Surabaya, dengan beberapa orang yang diduga sebagai agennya dalam upaya mengatur perjalanan hukum sesuai kehendaknya, khususnya yang terkait dengan “kriminalisasi KPK” melalui jebakan yang dirancang terhadap dua pimpinannya, Bibit dan Chandra.
Menyimak rekaman yang memakan waktu selama 4.5 jam lebih dan berbagai diskusi yang dilakukan oleh banyak pakar dari berbagai ahli beberapa hari belakangan ini timbul beberapa pertanyaan mendasar dalam benak kita : Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri ini? Kenapa seorang Anggodo dengan mudah mengatur beberapa pejabat tinggi penegak hukum di Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk menjerat dua orang pimpinan KPK sesuai kemauannya?
Masih adakah Anggodo-Anggodo lain yang berkeliaran negeri ini? Kenapa pula pihak kepolisian tidak bisa menetapkan Anggoda sebagai tersangka kasus kejahatan suap yang dengan gagahnya ia beberkan di salah satu media televisi dan di hadapan para wartawan beberapa hari lau, sehingga salah seorang pengacara Bibit dan Chandar berkata geram : Apa saya yang bodoh atau kepolisian?
Apa yang terjadi sesunguhnya jauh melebihi apa yang terungkap ke permukaaan. Seorang mantan Jaksa Agung, Bismar Siregar di awal reformasi pernah menyatakan, bahwa banyak pejabat Kejaksaan Agung yang korup. Bahkan dalam acara diskusi pagi di tvone 9/11/09 seorang mantan petinggi Kejaksaan, Jogi Soehandojo dengan lantang mengatakan bahwa tingkat korupsi di lemabaga penegak hukum itu sangat mengerikan. Para penegak hukum sudah tidak memiliki keberanian, rasa malu dan profesionalisme. Dan,yang lebih mengerikan lagi, kata beliau, bahwa penegak hukum selalu mencari lobang-lobang hukum yang memungkinkan dapat ditafsirkan semaunya.
Mafia hukum dan peradilan telah mengakibatkan kemiskinan, ketidak adilan dan korupsi besar-besaran dalam semua lini, khususnya di pemerintahan. Nyaris tidak satupun lini pemerintahan yang tidak ada korupsinya, baik eksekutif, legisltaif maupun udikatif. Ajaibnya, menurut Imam Sugama, korupsi itu bermuara dari Departemen Keuangan sendiri yang selalu memarkup ABN mencapai 300 persen.
Dari sinilah dana yang dokorupsi sepanjang tahun itu mengalir. Korupsi telah merugikan negara ribuan trilun rupiah. Kalaulah dana yang dikorupsi tersebut digunakan untuk memperbaiki perekonomian, pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan dan berbagai infrasutruktur di seluruh kawasan negeri ini, pastilah lebih dari cukup.
Kejahtan mafia hukum dan peradilan yang mengakibatkan merjalelalnya kejahatan korupsi sudah permanen dan mustahil diselesaikan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Karena ibarat pepatah “sapu yang kotor tidak mungkin dapat membersihkan”. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah fakta bahwa semua institusi penegak hukum di negeri, baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan tidak bisa lagi diharapkan berfungsi sebagaimana mestinya.
Lebih dari itu, lembaga-lembaga tersebut dijadikan sarang mafia oleh segelintir pengusaha yang berkolaborasi dengan oknum-oknum pejabatnya. Kondisi seperti itu diperparah lagi oleh institusi legislatif yang kurang berperan dalam mewujudkan harapan masyarakat dan bahkan beberapa anggotanya terlibat pula melakukan hal yang sama.
Sebab itu tidak heran, jika masyarakat kehilangan kepercaan kepada lembaga-lembaga penegak hukum yang ada , termsuk legislatif dan harapan mereka sangat besar pada keberadaan KPK sebagai lembaga penegak hukum alternatif. Maka isu kiriminalisasi KPK telah memancing amarah kebanyakan masyarakat Indonesia yang sangta luar biasa.
Dalam perspektif Islam, mafia hukum dan peradilan yang mengakibatkan ketidak adilan dan merajalelalnya kejahatan korupsi bermuara dari dua persoalan pokok. Pertama, pemimpin yang tidak professional, nepotisme dan lemah kepemimpinannya. Kedua, hilangnya sifat amanah dalam diri pemimpin dan para penegak hukum. Sebab itu, Rsul Saw. sejak lebih dari 14 abad silam telah mewanti-wanti umatnya : Amanah, atau Kehancuran?
Dalam sebuah hadits Rasul Saw bersabda : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bila amanah sudah diabaikan, maka tunggulah kehancuran. Dia berkata: Bagaimana mengabaikan amanah itu wahai baginda Rasulillah? Beliau menjawah: Bila diberikan suatu urusan/tugas/pekerjaan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran“. [1]
Dalam surat Annisak ayat 58 Allah menjelaskan :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan (menyerahkan) amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Annisak : 58)
Agar kita memahami betapa besarnya peran amanh dalam kehidupan bernegara, mari kita simak dan renungkan beberapa kisah seputar amanah yang menakjubkan yang terjadi dalam sejarah umat Islam terdahulu, dimulai sejak Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin umatnya sampai beberapa abad setelahnya.
Kisah-kisah di bawah ini mencerminkan amanah yang telah menjadi karakter masyarakat Islam sejak dari pemimpin, ulama, penegak hukum, pejabat tinggi Negara, pegawai/profesional dan orang kaya dari kalangan kaum muslimin.
1. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah, pernah seorang wanita ternama dari suku Makhzumi mencuri di zaman Rasul Saw. Keluarganya mencoba mendapatkan keringanan (dispensasi hukum) dari Rasul Shallallahu agar tidak diterapkan padanya hukuman potong tangan.
Mendengar dan melihat gelagat mereka, beliau pun marah sambil berkata: “Wahai manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena mereka menerapkan hukum tebang pilih. Ketika yang mencuri (korupsi) itu dari kalangan terhormat, mereka membiarkannya.
Namun, bila yang mencuri itu dari kalangan lemah (rakyat jelata), mereka terapkan hukum pada mereka. Demi Dzat (Allah) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Sekiranya Fathimah anak kesayangan Muhammad mencuri, pasti Muhammad potong tangannya“.
Ini adalah amanah seorang penguasa dalam menerapkan undang-undang/peraturan terhadap semua rakyatnya.
2. Salah seorang anak amirul mukminin Umar Ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminjam modal untk berdagang dari Abu Musa Al-Asya’ari radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu menjadi Gubernur Kufah (Irak). Abu Musa meminjamkannya dari uang simpanan negara dengan syarat dikembalikan utuh, tanpa ada pemotongan sedikitpun.
Perdaganganpun dijalankan sampai anak khalifah tersebut meraih keuntungan besar. Berita itu sampai kepada sang khalifah. Lalu beliau berkata kepada anaknya, “Ketika kamu membeli barang, para penjual pasti mendiscount harganya karena mereka mengetahui kamu adalah anak seorang Amirul Mukminin.
Ketika kamu menjual barang daganganmu pasti dibeli dengan harga yang lebih tinggi karena para pembeli juga mengetahui kamu adalah anak Amirul Mukminin. Okelah… Jika demikian keadaannya, kaum Muslimin memiliki hak terhadap keuntungan yang kamu peroleh (karena modalnya dari harta mereka).”
Lalu Umar membagi dua (50 : 50) keuntungan tersebut -sebagian untuk anaknya dan sebagian yang lain diserahkan ke Baitul Mal- Umar pun meminta agar modal yang dipinjam anaknya itu segera dikembalikan ke kas negara dan mengingatkan dengan keras akan perbuatan anaknya. Bukan hanya sampai di situ, Umar juga menegur Abu Musa dengan keras atas perbuatannya yang meminjamkan harta negara kepada anaknya yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Ini adalah amanah penguasa yang tidak tidur di malam hari demi menjaga harta rakyatnya serta tidak pandang bulu; teman atau keluarga terdekat sekalipun (tidak melakukan KKN).
3. Sholahuddin Al-Ayubi rahimahullah, adalah raja yang amat popular di zamannya dalam penaklukan dan kemenangan. Di tangannya negara memperoleh ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat banyak.
Semuanya beliau gunakan untuk wakaf pengembangan pendidikan, rumah sakit dan masjid yang bekas peninggalannya masih kita temukan sampai hari ini. Sungguh demikian, sedikitpun tidak ada yang beliau tinggalkan untuk dirinya dan anak-anaknya.
Bahkan sejarah mencatat, ketika meninggal dunia, beliau adalah manusia yang paling miskin, tidak ada dirham, dinar, tanah dan rumah yang ditinggalkan untuk anak-anaknya.
Ini adalah amanah seorang pemimpin yang Mujahid yang tidak tergoda memperdagangkan jihad (perjuangan)-nya. Dia hanya mencari ridha, syurga dan ganjaran dari Allah sebagai ganti semua itu.
4. Ketika Khalifah Utsman Ibnu Affan radhiyallahu ‘anhu hendak meminjamkan sebagian harta negara kepada beberapa orang (kawannya), ia memanggil direktur Baitul Mal dan memerintahkan agar merealisasikan permintaannya itu. Sang direkturpun menolak perintah Utsman. Lalu Utsman berkata padanya, “Kenapa kamu tidak mau merealisasikannya sedangkan kamu pegawai kami?”
Sang Direkturpun lari menuju masjid (Nabawi) dan berkata dengan suara yang amat keras, sehingga terdengar semua orang yang ada di masjid, “Wahai manusia! Utsman menduga bahwa saya adalah pegawainya. Saya sesungguhnya adalah pegawai yang menjaga Baitul Mal kalian. Baitul Mal ini milik kalian, bukan milik pribadinya. Ini kunci Baitul Mal itu, sekarang saya serahkan kepada kalian. Kemudian sang Direktur melemparkan kunci-knuci Baitul Mal itu dan langsung pergi.”
Ini adalah amanah seorang pegawai yang terhormat. Dia tidak mau melecehkan peraturan demi hanya mencari keridhaan presiden atau pimpinannya.
5. Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, khalifah Rasul keempat –karromallahu wajhah- pernah melewati sebuah masjid. Dia melihat seseorang sedang memberikan pelajaran agama kepada para hadirin. Lalu Ali berkata kepada sang ustadz tersebut, “Apakah Anda menguasai hukum-hukum dalam Al-Qur’an, nasikh (ayat-ayat yang membatalkan/menghapus hukum sebelumnya) dan mansukh (ayat-ayat yang dibatalkan/dihapus)?”
Sang ustadz menjawab, “Saya belum mengetahuinya.”
Spontan Ali berkata, “Celaka engkau dan engkau mencelakakan masyarakat.” Kemudian Ali melarang orang tersebut memberikan pelajaran agama kepada masyarakat.
Ini adalah amanah seorang Presiden dalam menjaga kemurnian ilmu dan aqidah umat agar tidak dirusak oleh orang-orang bodoh/ tidak berilmu.
6. Pernah suatu kali, Syeikh Izzuddin Abdussalam, sang Jaksa Agung Damaskus berseberangan dengan Sultan Damaskus karena ia (Sultan Damaskus) bekerjasama dengan pihak asing untuk memerangi Sultan Mesir; saudara muslimnya.
Syeikh Izzuddin menganggap perbuatan itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap kaum muslimin dan sebuah tindakan kriminal terhadap negerinya. Ketika Sultan Damaskus memecatnya, Syeikh Izzuddin tidak mau tinggal di negeri yang penguasanya adalah para pengkhianat atas hak-hak masyarakat, kemerdekaan dan kedaulatan mereka. Beliau tidak mau pulang ke Damaskus kendati sang Sultan sudah berupaya dengan segala cara seperti janji-janji manis nan menggiurkan.
Ini adalah amanah seorang alim (ulama) yang tegas menegakkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim dan membongkar pengkhianatannya terhadap masyarakat, tanpa takut menghadapi berbagai ancaman penguasa demi berjalan di jalan Allah.
7. Pada suatu hari, ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha bersedekah sebanyak 100.000 dirham sedangkan ia berpuasa dan memakai pakaian yang bertambal. Lalu pembantunya berkata kepadanya, “Wahai sekiranya engkau tinggalkan sedikit untuk membeli makanan untuk buka puasa kita hari ini. Tidak ada lagi yang bisa kita makan hari ini.”
Aisyah pun menjawab, “Kalau kamu ingatkan sejak awal, aku akan lakukan itu.” Ini adalah amanah orang kaya mukmin yang lupa rasa lapar dalam dirinya. Pada waktu yang sama, ia malah ingat rasa lapar orang lain dari masyarakatnya.
Membaca sekelumit cerita indah tentang betapa amanhnya para pemimpin Islam, ulama, penegak hukum dan termasuk para konglomeratnya muncul pertanyaan dalam diri kita : Kapan kita mampu membangun sebuah pemerintahan yang tegak di atas dasar sifat atau karakter amanah seperti yang dicontohkan umat Islam terdahulu? Jawabannya seperti yang dijelaskan Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dari ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa syarat mewujudkan sebuah pemerintahan yang amanah adalah :
1. Ketaatan mutlak kepada Allah dan rasul-Nya melalui penerapan sistem hidup yang telah dijelaskan Allah dalam A-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw.
2. Mentaati pemimpin yang professional, yakni yang menegakkan sistem Allah dan Rasul Saw.
3. Para penegak hukum harus mengembalikan semua perkara yang diperselisihkan kepada kepitusan Allah dan Rasul-Nya, agar terhindar dari vasted interest dan hawa nafsu.
4. Meyakini konsekunsi hukum akhirat.
Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada para pemimpin dan penegak hukum di negeri ini agar mereka memiliki sifat Amanah. Amin yaa Robb…
Fathuddin Ja'far, MA
http://eramuslim.com/nasihat-ulama/fathuddin-ja-far-ma-amanah-atau-kehancuran.htm
No comments:
Post a Comment