Manusia adalah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling bergantung dan membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram bila hidup bersama makhluk sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian.
Jika demikian keadaannya maka mau tidak mau seseorang harus memiliki perangai yang dengannya akan terwujud keberlangsungan hidup yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi manusia dengan berbagai corak dan watak yang berbeda-beda. Tentunya sebagai bagian dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/ subjek) atau yang diperlakukan (maf’ul bihi/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya.
Membimbing mereka kepada jalan kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)
Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari dua perkara:
1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah ia berterima kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)
2. Adakalanya dia diperlakukan jelek, maka dalam kondisi seperti ini hendaknya dia bersabar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi berita gembira kepada orang yang bersabar terhadap gangguan manusia dengan sabdanya (yang artinya): “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (Shahih Al-Adabul Al-Mufrad no. 300)
Akhlak yang Mulia dan Pengaruhnya dalam Pergaulan
Biasanya orang menilai baik dan buruknya seseorang dengan melihat perilaku kesehariannya. Mereka tidak akan menaruh simpati kepada seseorang sedalam apapun ilmunya dan sebesar apapun ketaatannya, manakala akhlak yang mulia tidak bisa tercermin dalam kehidupannya. Memang benar, jika lahiriah seseorang tidak menunjukkan kebaikan, itu merupakan bukti bahwa di batinnya ada kejelekan. Dahulu orang Arab mengatakan bahwa “Setiap bejana bila dituangkan akan mengeluarkan isinya masing-masing.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala di banyak ayat Al-Qur`an telah memerintahkan para hamba-Nya agar menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia serta memberi berita gembira dengan surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali 'Imran: 133-134)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia. Sampai-sampai ketika beliau ditanya tentang sebaik-baik anugerah yang diberikan kepada seseorang, beliau menjawab: “Akhlak yang baik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2789)
Seseorang bisa jadi tidak diberi kemudahan untuk banyak shalat malam dan puasa sunnah di siang hari. Namun bila baik akhlaknya, dia bisa menyusul dan mendapatkan derajat orang-orang yang melakukan shalat dan puasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin mendapat derajat orang yang berpuasa dan shalat malam dengan sebab baiknya akhlak.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1932)
Berbicara tentang akhlak yang mulia sangat luas cakupannya. Apa yang telah disebutkan kiranya telah cukup untuk mengingatkan kaum mukminin supaya yang lalai terbangun dan yang lupa menjadi ingat. Hendaklah seorang mengaca diri, apakah terhadap orang lain dia berlemah lembut, berwajah ceria dan murah senyum?!
Di mana dengan sikap itu mereka akan tenteram dengannya, suka berada di sisinya, dan mau bercengkrama dengannya. Mereka berlomba-lomba untuk menemaninya dalam perjalanan. Jiwa mereka tenang dari kejahatannya sebagaimana mereka merasa aman pada harta dan kehormatan mereka. Jual belinya mudah, ucapannya jujur, janjinya ditepati, dan tutur katanya baik. Tangannya terhindar dari kejahatan dan matanya tercegah dari khianat. Ucapan salamnya diberikan kepada pembantunya sebagaimana dia berikan kepada pemimpinnya. Wajahnya tersenyum ceria kepada orang yang tidak dia kenal seperti kalau ia tersenyum kepada rekan sejawatnya. Kedengkian hatinya telah tercabut dan prasangkanya terhadap saudaranya baik serta persaudaraannya tulus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan rasul-Nya mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
(Diambil dari kitab Al-Mau’izhah Al-Hasanah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani dari hal. 4-23 secara ringkas)
Adapun hakikat akhlak yang baik dalam bergaul bersama masyarakat adalah seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullahu yaitu: wajah yang lapang (tersenyum), memberikan kebaikan, dan
menahan diri dari menyakiti orang. (lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2005)
Berikut ini penjelasannya:
- Berseri-serinya wajah di saat berjumpa dengan orang tidak diragukan lagi merupakan bentuk meresapkan kebahagiaan kepada orang lain serta menarik kecintaan mereka, di samping pelakunya juga akan mendapat pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski kamu berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 1782).
Coba kita berangkat dari sesuatu yang mudah dan tidak membutuhkan modal yaitu tersenyum. Niscaya kita akan sampai kepada sesuatu yang tinggi. Tetapi jika yang seperti ini saja diremehkan, mana mungkin bisa melakukan yang lebih besar? Kita justru menyaksikan pemandangan yang sebaliknya. Banyak manusia bila berpapasan dengan orang bukannya menebar salam dan senyuman, bahkan menampilkan wajah cemberut dan muka yang berpaling. Bila kaum muslimin bakhil dengan adab yang seperti ini, adab mana lagi yang akan dijalankan?! Maka, orang yang mengikuti jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih semestinya tahu bahwa ini merupakan salah satu jalan untuk diterimanya dakwah al-haq. Jadikanlah orang tertarik dan cinta dengan dakwah ini dan jangan membuat mereka lari. Sapalah orang yang berjumpa denganmu dan yang duduk semajelis denganmu, terutama mereka yang baru mengenal dakwah dan mulai tertarik dengan dakwah al-haq. Jangan bermuka sangar dan seram, karena hal itu akan memudaratkanmu dan kebenaran yang ada pada dirimu.
- Adapun memberikan kebaikan kepada orang maka sangat banyak bentuknya. Adakalanya dengan memberikan materi kepada orang yang membutuhkan, atau menyumbangkan tenaga, pikiran dan saran, atau apa saja yang bisa kita suguhkan dalam rangka mewujudkan maslahat bersama.
Memang manusia pada umumnya memiliki sifat egois dan mementingkan diri sendiri. Namun watak yang tercela ini bukan berarti tidak bisa diobati. Sesungguhnya membaca kisah-kisah keteladanan yang ada dalam Al-Qur`an, hadits, dan kitab-kitab sejarah para ulama Islam adalah salah satu jalan untuk seorang bisa meninggalkan sifat egois. Misalnya kisah Nabi Musa q ketika beliau lari dari Mesir, saat Fir’aun dan pasukannya hendak membunuhnya. Beliau berjalan kaki berhari-hari dengan rasa lapar yang luar biasa dan keletihan yang tiada tara. Sesampainya di Madyan, beliau melihat sekelompok manusia tengah memberi minum ternaknya. Di sana ada pula dua wanita penggembala yang tidak ikut berdesakan memberi minum ternaknya. Watak baik Nabi Musa q mendorongnya untuk membantu dua wanita yang lemah tadi untuk memberi minum ternak mereka, meski tubuhnya letih, pikirannya capek, dan perutnya kosong. Dibantunya dua wanita tadi tanpa meminta upah sedikitpun, padahal kondisinya sangat membutuhkan.
Demikian pula di masa khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Manusia ditimpa kekeringan dan paceklik. Tatkala kondisi semakin parah, mereka datang kepada Abu Bakr dan mengatakan: “Wahai khalifah Rasulullah, langit tidak menurunkan hujan dan tanah tidak bisa tumbuh. Sementara manusia memperkirakan akan binasa, lalu apa yang harus kita lakukan?”
Abu Bakr mengatakan: “Beranjaklah kalian dan bersabarlah! Sungguh aku berharap kalian tidak sampai memasuki sore melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melepaskan derita kalian.” Tatkala sore telah tiba, datang berita bahwa unta ‘Utsman telah datang dari Syam dan akan sampai Madinah besok pagi. Tatkala telah sampai, manusia keluar untuk menyambutnya. Ternyata ada seribu unta yang membawa gandum, minyak, dan kismis, lalu berhenti di depan rumah ‘Utsman.
Para pedagang mendatanginya dengan mengatakan: “Juallah barang ini kepada kami, karena kamu tahu manusia sangat membutuhkannya!”
‘Utsman mengatakan: “Dengan penuh kecintaan. Berapa kalian mau memberi untung barang daganganku?”
Mereka mengatakan: “Setiap kamu beli satu dirham kami membeli darimu dua dirham.”
‘Utsman berkata: “Ada yang berani memberi untung kepadaku lebih dari ini?”
Mereka berkata: “Kami beli empat dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Lima dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Wahai Abu 'Amr (‘Utsman), tidak ada di Madinah para pedagang selain kami? Siapa lagi yang akan bisa membeli dengan harga ini?”
‘Utsman mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi untung kepadaku sepuluh setiap satu dirham. Apakah kalian bisa lebih?” Mereka mengatakan: “Tidak.”
‘Utsman berkata: “Sesungguhnya aku jadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai saksi bahwa aku telah menjadikan seluruh yang dibawa unta-unta ini adalah shadaqah untuk orang-orang fakir miskin dan yang membutuhkan.”
Ya, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah menjualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan laba yang tidak bisa dihitung oleh manusia. (lihat Al-Khulafa` Ar-Rasyidun wad Daulah Umawiyah hal. 75-76).
Masih adakah orang-orang seperti ‘Utsman dan para pedagang tadi yang bersegera untuk melepaskan krisis yang hampir menelan banyak korban, tanpa mereka mencari keuntungan duniawi setitikpun? Padahal kalau mereka ingin memanfaatkan kesempatan, niscaya mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya. Keinginan untuk mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tertanamnya sifat belas kasihan menghalangi mereka dari nafsu serakah. Apakah kiranya para saudagar kaya bisa mengambil pelajaran dari ini?! Atau bahkan mereka akan tetap larut di atas kerakusan mereka serta menari-nari di atas penderitaan umat? Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita adukan nasib kita.
- Sedangkan yang ketiga adalah menghindarkan dari menyakiti orang.
Cukuplah jika seseorang belum bisa berbuat baik kepada orang untuk menahan dirinya dari mengganggu manusia, baik terhadap nyawa, harta, atau kehormatannya. Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan haramnya seorang muslim mengganggu orang lain di saat perkumpulan akbar yaitu ketika haji wada’ (haji perpisahan).
Siapa saja yang mengganggu orang lain dengan mengambil hartanya, menipu, mencerca dan semisalnya maka tidak dikatakan baik akhlaknya. Akan semakin jelek manakala orang yang disakiti memiliki hak yang besar atasnya. Menyakiti kedua orangtua lebih besar dosanya daripada kepada orang lain. Mengganggu karib kerabat lebih jahat daripada kepada orang jauh. Demikian pula terhadap tetangga lebih besar dosanya daripada kepada selain tetangga.
Oleh karena itu Islam telah menentukan adanya hukum had seperti qishash bagi yang membunuh dengan sengaja, potong tangan bagi yang mencuri, hukuman dera bagi yang meminum khamr, dan lainnya. Ini semua dalam rangka menjaga kehormatan manusia agar tidak diganggu tanpa hak.
Bahkan orang-orang yang rentan untuk dizalimi seperti para budak, istri, anak-anak, orang fakir dan semisalnya, hak mereka telah dilindungi oleh syariat Islam. Kita ambil contoh, peristiwa Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika suatu hari budaknya lengah di saat menggembalakan kambingnya sehingga ada yang dimakan serigala. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu marah dan mencambuknya. Lalu dari belakang terdengar suara: “Wahai Abu Mas’ud, sungguh Allah lebih mampu untuk menghukum kamu daripada kamu menghukum budakmu!” Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menoleh, ternyata itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Wahai Rasulullah, budak itu saya merdekakan ikhlas karena Allah!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Ketahuilah, jika kamu tidak melakukan demikian niscaya kamu disentuh oleh api neraka.” (lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 127)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَاءِهِمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya terhadap istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc
No comments:
Post a Comment